Ketika menentukan pilihan sebagai pendidik, ada beberapa nilai yang saya yakini dan tanamkan dalam diri. Prinsip yang pertama bahwa sekolah atau institusi pendidikan saya ibaratkan sebagai bengkel. Sebuah bengkel tentu akan menerima kendaraan dalam kondisi yang tidak prima. Ada kekurangan yang harus dibereskan atau kerusakan yang harus diperbaiki. Jenis kekurangan atau kerusakan pun beragam rupa ada yang ringan, ada yang sedang, dan bahkan ada yang berat. Sebagai gambaran, misalnya, ada kendaraan yang sekedar baret tipis di bodinya sehingga cukup dipoles maka permasalahan pun terselesaikan. Disisi lain ada yang masuk bengkel dengan bodi yang penyok di beberapa titik, sehingga tak cukup dipoles, harus ada tambahan perlakuan khusus seperti diketok kemudian didempul dan baru dicat ulang untuk mengembalikan kemulusan bodinya. Jika kerusakan ada pada bagian mesin, maka perlu dikenali gejala kerusakannya sehingga akan dapat ditentukan langkah perbaikan yang tepat. Begitupun seorang pendidik, ia harus siap dengan kondisi peserta didik yang akan mengikuti proses pengajaran dan pendidikan yang dilakukan. Adakalanya terdapat individu peserta didik yang membutuhkan perlakuan khusus yang tidak sama dengan perlakuan kepada peserta didik pada umumnya. Latar belakang keluarga, latar belakang ekonomi, atau permasalahan khusus lainya adalah hal yang bisa menghambat pertumbuhan kodrat baik yang ada pada dirinya.
Prinsip yang kedua yang saya yakini adalah bahwa mustahil mengubah batu menjadi emas, tetapi sangat mungkin menjadikan nilainya seperti batu mulia. Seorang pendidik harus berfokus kepada kelebihan atau kekuatan positif yang dimiliki oleh peserta didiknya. Kekuatan inilah yang harus ditumbuhkembangkan, diarahkan melalui proses pengajaran dan pendidikan yang memerdekakan. Asahlah pisau pada sisi tajamnya, begitulah para cerdik cendekia memberikan ibarat.
Dalam tataran praktik, sebagai pendidik, saya terkadang terkendala oleh beberapa hal. Pertama, saya masih memahami perangkat kurikulum pendidikan secara sudut pandang administratif yang kaku atau tidak luwes. Hal ini justru mengungkung kemerdekaan sebagai pendidik untuk berkreasi. Kurukukum sering dipahami sebagai perangkat administratif saja bukan sebagai sebuah penuntun kearah pencapaian tujuan pendidikan. Kedua, sebagai pendidik, saya belum memiliki pemahaman terhadap konsep pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara secara komprehensif. Salah satu dampaknya adalah kegiatan pembelajaran yang saya lakukan masih berfokus pada kompetensi dasar yang bersifat akademik semata, sehingga indikator keberhasilannya hanya diukur dari pencapaian kriteria ketuntasan minimal yang betupa angka atau nilai. Ketiga, munculnya stereotip negatif yang dipengaruhi oleh kekurangpahaman dan kekurangsabaran dalam menghadapi keunikan karakter peserta didik. Ditambah dengan opini dari luar diri (rekan sejawat, peserta didik lain) yang membenarkan label negatif kepada peserta didik tersebut. Hal ini menyebabkan munculnya penghakiman sepihak yang negatif kepada peserta didik. Misalnya peserta didik tertentu nakal, sulit untuk berkembang, atau bersifat malas sehingga masa depan suram. Akibat dari stereotip negatif kepada peserta didik, justru akan berpengaruh kepada semangat mencapai tujuan pendidikan, sehingga peserta didik yang seharusnya mendapat perlakuan khusus terabaikan.
Hal-hal yang menjadi penghambat tersebut, dapat berubah secara berangsur-angsur setelah saya menyelami dan memahami pemikiran Ki Hadjar Dewantara melalui kegiatan refleksi terhadap pemikiran KHD dalam Dikat Guru Penggerak. Melalui bimbingan dari instruktur, fasilitator dan pengajar praktik serta berkolaborasi dengan Calon Guru Penggerak lain, saya dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru yang mencerahkan. Pertama bahwa pendidikan itu adalah proses menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebgai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Kedua tentang trilogi pendidikan KHD (ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani) yang menjadi dasar bagi pendidik untuk menuntun peserta didik menumbukembangkan inti kekuatan positif yang dimilikinya. Ketiga bahwa setiap anak terlahir dengan kekuatan kodrat yang masih samar-samar, bukan tabula rasa. Sehingga tugas pendidik adalah menebalkan laku anak dengan kekuatan konteks diri anak (dengan mengetahui tahap tumbuh kembang anak) dan sosio-kultural (bahwa pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan). Keempat bahwa maksud atau tujuan pengajaran dan pendidikan adalah memerdekakan manusia. Merdeka bukan hanya tidak terperintah, akan tetapi juga dapat menegakkan dirinya dan mengatur perikehidupannya dengan tertib. Manusia merdeka adalah manusia yang hidupnya tidak bergantung kepada orang lain dari sisi lahir dan batinya akan tetapi berfokus kepada kekuatan diri yang dimiliki. Kelima bahwa pendidikan semestinya berpihak atau berpusat pada anak. Sebagaimana istilah KHD, “bebas dari segala ikatan dengan suci hati mendekati sang anak bukan untuk meminta sesuatu hak melainkan untuk berhamba kepada sang anak.” Keenam bahwa pokok pendidikan harus terletak pada orang tua (ibu dan bapak). Karena hanya kedua orang inilah yang dapat “berhamba pada anak” dengan tulus ikhlas, dengan cinta kasih yang tulus tak terbatas. Maka kesuksesan pengajaran dan pendidikan terletak pada sinergi dan kolaborasi antara pendidik di sekolah dengan orang tua di rumah.
Pemahaman tidaklah bermanfaat ketika hanya berhenti pada wacana semata, sehingga diperlukan aksi nyata didalam proses pendidikan. Oleh karenanya sebagai pendidik saya harus dapat menerapkan dalam praktik nyata kegiatan pembelajaran. Diantara implementasi yang dapat segera saya terapkan adalah, pertama merancang program pengajaran dan pendidikan yang memerdekakan, menyenangkan, dan menumbuhkan semangat peserta didik untuk berkembang sesuai dengan kodrat alam dan kodrat jamannya.
Salah satu contoh yang saya terapkan adalah menggunakan metode pembelajaran berbasis sosial media yang saya sebut POINT, kependekan dari Post On Instagram. Metode ini saya terapkan dilatar belakangi oleh hasil angket awal yang menunjukkan bahwa seluruh peserta didik di kelas yang saya ampu memiliki akun instagram dan sebagian besar aktif mengunggah konten di akun mereka masing-masing. Dalam pelajaran Bahasa Inggris yang saya ampu, ada hal yang dapat saya koneksikan dengan kebiasaan peserta didik menggunakan media sosial instagram. Selain itu untuk mendekatkan proses pengajaran dan pendidikan dengan konteks kearifan budaya lokal, hal yang bisa lakukan adalah mengeksplorasi teks-teks berbahasa Inggris berupa dongeng, legenda, deskripsi tempat atau tokoh yang memuat nilai dan karakter budaya Indonesia.
Diterbitkan | : | 13 April 2022 09:45 |
Sumber | : | Modul 1.1.A. Refleksi Filosofi Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara |
Penulis | : | AHMAD TAUFIK SUFYAN SETIAWAN |