Perubahan sistem pembelajaran tatap muka menjadi daring akibat pandemi Covid-19 menemui berbagai masalah dalam pelaksanaannya. Salah satu masalah mendasar yang dihadapi yaitu wali murid merasa kerepotan dengan tugas-tugas yang diberikan guru, terutama wali murid yang kurang paham dengan teknologi informasi. Masalah lainnya adalah jaringan yang kurang stabil, karena faktor cuaca dan letak geografis wilayah turut berperan dalam menentukan kestabilan jaringan. Selanjutnya dari segi konten materi belajar, beberapa materi ajar (seperti materi matematika, kesenian, TIK, dan olahraga) tidak dapat tersampaikan dengan baik. Selain itu, masih banyak masalah lain yang dihadapi dalam pelaksanaan pembelajaran daring ini. Namun, mengingat situasi pandemi, pembelajaran daring adalah pilihan terbaik saat ini.
Keputusan Bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri (15 Juni 2020) tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran Baru di Masa Pandemi Covid-19 menyebutkan hanya zona hijau yang diperbolehkan melaksanakan pembelajaran secara tatap muka, sedangkan zona kuning, orange dan merah dilarang melakukan proses pembelajaran tatap muka tetapi tetap melanjutkan proses pembelajaran dari rumah.
Era pandemi Covid-19 memberikan sebuah tantangan kepada pengelola sekolah terkhusus para pendidik untuk berkreativitas menemukan terobosan-terobosan baru model pembelajaran secara daring. Pembelajaran daring menurut Latjuba Sofyana (2019) bertujuan untuk memberikan layanan yang baik dan bermutu dalam pembelajaran melalui jaringan yang bersifat terbuka untuk menjangkau orang yang lebih banyak dan luas. Sehingga dapat dikatakan pembelajaran daring merupakan pilihan media pembelajaran terbaik pada era pandemi ini yang dapat diikuti seluruh siswa di kelas pada masing-masing jenjang pendidikan.
Saat ini, para guru sangat diuntungkan dengan banyaknya aplikasi teknologi informasi (TI) yang dapat diberdayakan sebagai media pembelajaran daring. Misalnya, aplikasi class room yang disediakan oleh Google untuk merancang kelas daring dan aplikasi zoom yang bisa digunakan oleh guru untuk bertatap muka secara langsung melalaui layanan video yang bisa diakses oleh ratusan siswa sekaligus. Selain itu, ada juga media sosial Facebook yang bisa dijadikan sarana pembelajaran daring. Berbagai aplikasi TI tersebut merupakan kunci media pembelajaran daring di masa pandemi Covid-19 ini. Selanjutnya, peserta didik dituntut untuk bersahabat dengan berbagai aplikasi tersebut.
Erwin Tanjung dalam Kompasiana.com menjelaskan media sosial Facebook dapat dimanfaatkan sebagai alternatif terbaik untuk mengajarkan sastra kepada peserta didik. Media sosial Facebook tidak asing lagi ditengah-tengah masyarakat khususnya pelajar. Dewasa ini, hampir mayoritas siswa memiliki akun Facebook. Artinya, siswa sudah memiliki kemampuan untuk menjalankan aplikasi media sosial tersebut. Selain itu, media sosial Facebook memiliki pengaturan gratis. Sehingga siswa dapat mengakses media sosial Facebook walaupun tidak memiliki kuota. Hal itu, tentu sangat membantu para siswa dan orang tua siswa dengan kondisi ekonomi yang sulit di saat pandemi ini.
Media sosial Facebook memiliki fitur grup. Fitur ini dapat digunakan untuk memodifikasi grup ini menjadi kelas daring yang dapat dimanfaatkan sebagai kelas pembelajaran sastra. Melalui grup tersebut, guru dapat memanfaatkan fitur-fitur yang terdapat di grup untuk mendesain kelas untuk pembelajaran sastra. Secara sederhana apa yang dilakukan di kelas nyata pada dasarnya sama dengan apa yang akan dilakukan di kelas daring. Dengan memanfaatkan kolom postingan sebagai papan tulis, pengguna dapat mengelola kelas daring sehingga akan menjadi daya tarik dalam pengajaran sastra. Semua ini, tentu tergantung pada daya inovasi guru untuk merancang pembelajaran sastra di kelas daring. Erwin Tanjung dalam Kompasiana.com memberikan contoh beberapa topik pelajaran sastra dengan memanfaatkan media sosial Facebook sebagai berikut.
Pembelajaran sastra yang berada dalam ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia menjadi sorotan menarik karena sebelumnya dunia sastra telah mengalami perubahan ke arah digital. Belajar sastra di masa pandemi, tak dapat dilepaskan dari sensibilitas, sensitivitas, dan responsi. Sensibilitas merupakan kemampuan menangkap peristiwa dari luar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, defenisi sensibilitas adalah kemampuan untuk menafsirkan rangsangan dari luar atau dari dalam tubuh; kepekaan. Dalam pembelajaran sastra, hal ini lebih ditekankan pada kepekaan siswa dalam menangkap peristiwa dari luar dirinya.
Kemudian sensitivitas merupakan kecepatan merespons peristiwa tersebut. Siswa dapat belajar mengenai berbagai nilai kehidupan seperti keadilan, berbagi, serta empati yang terjadi dalam lingkungannya. Hal tersebut dapat mengembangkan sensitivitas pada diri siswa, dengan begitu siswa tumbuh menjadi orang dewasa yang memiliki otak cemerlang sekaligus memiliki sensitivitas serta rasa empati pada sesama.
Rangkaian tersebut berujung pada responsi yang merupakan aksi nyata untuk mewujudkan dua proses sebelumnya. Aksi nyata ini dapat berupa karya sastra yang dihasilkan. Ketiga proses ini sesungguhnya bermuara pada pembentukan rasa empati untuk peduli terhadap sesama ketika pandemi. Tiga proses tersebut dapat ditanamkan sejak pendidikan dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi melalui proses pembelajaran sastra.
Kebijakan merdeka belajar dan fleksibilitas capaian pembelajaran membuat guru dapat berinovasi dan melakukan terobosan untuk melakukan beragam proses pengenalan sastra pada siswa. Salah satu caranya dengan meminta siswa memilih bahan bacaannya sendiri. Siswa diminta memilih cerita yang disukai atau puisi yang disukai. Kemudian, siswa diminta untuk menuliskan kembali kalimat yang membuatnya tertarik pada cerita atau puisi yang telah dipilihnya. Lalu dihias, dan difoto untuk ditunjukkan pada teman-temanya.
Pengembangan dari pembelajaran ini dapat dilakuan dengan cara meminta siswa untuk menceritakan kembali cerita yang disukai lalu divideokan serta diunggah agar dapat dilihat oleh teman-teman bahkan masyarakat umum. Cara ini membantu percaya diri siswa ketika berkenalan dengan sastra. Ini adalah salah satu cara yang dapat diterapkan pada pendidikan dasar serta upaya mengajak siswa menyukai sastra.
Para remaja yang umumnya sedang mengenyam pendidikan menengah memiliki banyak energi untuk diajak mengenali unsur ekstrinsik karya sastra secara menyenangkan. Mereka dapat diminta untuk menceritakan kisah hidup penulis favorit mereka, karya yang dihasilkan penulis tersebut, hingga kondisi sosial budayanya. Usia remaja sangat dekat dengan gawai dan teknologi. Mereka dapat diminta untuk mengemasnya melalui sajian beragam jenis tampilan dan mengumpulkan dengan cara mengunggahnya di media sosial. Ketika mengunggah di media sosial, mereka memliliki tanggung jawab moral untuk mencontoh kelakukan baik sastrawan yang dibanggakannya. Cara ini juga sekaligus wujud nyata praktik memanfaatkan gawai secara positif.
Selanjutnya di tingkat pendidikan tinggi, karya yang dibuat harusnya lebih serius dengan teknik-teknik yang diadaptasi sedemikian rupa. Misalnya, ketika membuat puisi, mahasiswa tidak lagi sekadar mendeskripsikan atau memetofarakan objek penulisanya tetapi sudah pada tataran menyusun kata-kata yang mampu memiliki daya ledak ketika dibaca. Jika mahasiswa belum terarik untuk membuat novel, puisi, atau cerpen, tetapi tertarik pada pembacaan sastra, pembacaannya pun juga harus lebih serius. Contohnya adalah membongkar makna yang tersembunyi di balik teks hingga menciptakan kritik sastra. Tantangan demikian akan membuat mahasiswa merasa seru ketika belajar sastra.
Prinsipnya pembelajaran sastra lebih ditekankan pada sisi apresiasi siswa terhadap karya sastra dan menggali minat serta potensi siswa pada sastra, sehingga pembelajaran sastra tidak memberikan kesan monoton apalagi membosankan tetapi justru menarik dan digemari. Oleh karena itu, perlu dikembangkan bentuk-bentuk strategi pembelajaran serta media pembelajaran yang tepat sasaran dengan memperhatikan tingkatan apresiasi siswa.
Perubahan orientasi pembelajaran pada apresiasi, ekspresi, dan produksi sastra inilah yang perlu dimodifikasi dalam rancangan pembelajaran sastra yang tidak lagi hanya berpusat pada peningkatan pengetahuan kesastraan siswa yang sifatnya cenderung teoretis dan mengesampingkan praktiknya. Peserta didik lebih dituntut untuk menguasai pengetahuan mengenai tokoh-tokoh atau sastrawan dari berbagai era dan hasil karya mereka, kemudian pada tahap inilah rancangan pembelajaran yang tepat memiliki peran penting sehingga siswa memahami makna atau nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra sehingga siswa tertarik untuk melakukan praktik pembelajaran sastra, seperti pementasan drama secara daring, membuat video pantomim kemudian mengunggah di media sosial, mengunggah rekaman pembacaan puisi, mengunggah rekaman deklamasi puisi, dan mengunggah rekaman musikalisasi puisi di akun media sosial.
Sumber Bacaan
https://um.ac.id/wp-content/uploads/2020/06/200615_PanduanPenyelenggaraanPembelajaran-TA-Baru-di-Masa-Pandemi-COVID19_min.pdf
Kamus Besar Bahasa Indonesia melaui laman kbbi.kemdikbud.go.id/entri/religius
Sofyana, Latjuba. 2019. Pembelajaran Daring Kombinasi Berbasis Whatshap pada Kelas Karyawan Prodi Teknik Informatika universitas PGRI Madiun. Jurnal Nasional Pendidikan Teknik Informatika, Volume 08 Nomor 1 Maret, (Madiun: Teknik informatika Universitas PGRI) hlm. 82
Tanjung, Erwin. Dalam https://www.kompasiana.com/erwintanjung/5ef6d25ed541df7b046dcaa3/mengajarsastradimasa-pandemi-covid-19?page=all