(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Pelajaran Bahasa Ibu di Ruang Pendidikan

Admin disdikpora | 11 Maret 2022 | 307 kali

UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Penetapan tersebut merupakan sebuah penghormatan terhadap Hari Gerakan Bahasa di Bangladesh yang memperjuangkan pemertahanan bahasa Bengali. Saat ini peringatan Hari Bahasa Ibu bukan lagi sebagai kenangan atas perjuangan para “martir” bahasa di Bangladesh. Hari Bahasa Ibu cenderung menjadi penyemangat agar bahasa ibu di dunia lebih dihormati. Sebagai informasi, menurut UNESCO, setidaknya setiap dua minggu sebuah bahasa menghilang dengan membawa seluruh warisan budaya dan intelektual (Kompas.com, 21/02/2021).

Secara lebih terperinci, 43 persen dari sekitar 6.000 bahasa yang digunakan di dunia terancam punah. Bagaimana dengan di Indonesia? Adalah fakta bahwa saat ini bahasa ibu bernasib getir: dibuat menjadi bahasa ejekan, terpinggirkan, dan kalah telak dari bahasa ibu tiri (bahasa asing). Bahasa ibu sudah tak bertuah lagi. Padahal, bahasa ibu adalah bahasa pokok untuk segala bahasa. Sungguh, kita adalah anak-anak yang durhaka. Saat bahasa ibu sudah tua, butuh perhatian, dan butuh didekati, saat itu juga bahasa ibu malah dipinggirkan, tak dibincangkan, bahkan tak dirindukan. Kita dengan sadar menggusur bahasa ibu, bahkan hampir dari segala bidang.

Dalam hal kurikulum misalnya. Tolehlah pada kurikulum kita yang merupakan terusan dari Kurikulum 2013. Di dalamnya sekolah menjadi racun mematikan bagi bahasa ibu. Periksalah kurikulum kita yang mata pelajarannya dibagi ke dalam dua kategori: A dan B. Kategori A berisi mata pelajaran yang sudah digariskan dari pusat, sedangkan kategori B berisi mata pelajaran yang sudah ditentukan, tetapi masih bisa dikurang-tambahkan. Namun, pada praktiknya saat ini pembelajaran bahasa ibu di sekolah sudah tidak diterapkan. Bahkan, jika kedapatan berbahasa ibu, siswa di beberapa sekolah saat ini didenda.

Bahasa Kekeluargaan

Pertanyaannya adalah bagaimana nasib bahasa ibu kita yang konon merupakan bahasa adat yang digunakan pada ritual-ritual budaya ketika kita dilahirkan atau ketika kita dimakamkan? Apakah kita akan menggusurnya dari peradaban melalui penerapan pembelajaran modern? Apakah kita akan menguburnya seiring dengan maraknya teknologi, yaitu situasi saat kita menguniversalkan perasaan dan memarginalkan kekayaan? Sungguh kita adalah anak durhaka. Kita terpincut kecantikan semu dari bahasa ibu tiri, yaitu bahasa asing, seperti Inggris atau Arab.

Padahal, kita dibesarkan dari “susu” bahasa ibu. Karena itu, pertanyaan yang sangat mendesak adalah apakah kelak kita makin “malu” mencuatkan bahasa daerah, bahkan di daerah kita sendiri? Pertanyaan itu tidak hanya penting, tetapi juga dapat menjadi kritik terhadap penggunaan bahasa ibu. Sebagai contoh, di Humbang Hasundutan bahasa ibu terkesan dilarang di dunia pendidikan. Jika diperinci lagi, ternyata kita tidak hanya menguburkan bahasa daerah, tetapi juga mulai mengabaikan bahasa Indonesia. Sudah banyak studi dan pemberitaan terkait dengan hal itu.

Salah satunya yang barangkali masih membekas di kepala kita adalah kisah anak Jakarta, sebagaimana disitir The New York Times dengan judul provokatifnya “As English Spreads, Indonesia Fear for Their Languages”. Di sana dikisahkan beberapa anak yang bermain di Jakarta mahir menggunakan bahasa Inggris, tetapi tak tahu berbahasa Indonesia, apalagi berbahasa ibu. Coba dikritisi, dari mana lagi logikanya kita akan cinta Indonesia sebagai tempat kita lahir dan tinggal, tetapi bahasanya saja tak kita pahami?

Kembali ke bahasa ibu. Semestinya bahasa ibu adalah bahasa kekeluargaan. Bahasa ibu adalah bahasa yang diperoleh pertama kali. Namun, kebanyakan dari generasi milenial saat ini tak lagi mengenal bahasa ibu. Lihatlah, berapa banyak generasi milenial yang  menggunakan bahasa daerah atau bahasa ibu? Bahasa ibu sudah menjadi bahasa tiri. Beruntung apabila bahasa pemerolehan pertama generasi milenial adalah bahasa Indonesia. Bagaimana kalau malah bahasa asing? Yang terasa lebih menyakitkan adalah generasi sekarang sebagai penutur pada masa depan, menyebut bahwa bahasa daerah tak ada manfaat langsungnya.

Bahasa daerah lantas menjadi sesuatu yang kumal sehingga dianggap tak ada gunanya kalau bukan untuk adat. Tak usah menutup mata, di sekitar kita saja sudah banyak yang “ogah” berbahasa daerah. Ini satu soal. Soal lain adalah negara sebagai institusi tertinggi juga tidak berupaya menjamin keberadaannya. Justru, negara semacam punya niat menghilangkan bahasa daerah. Dibuatlah bahasa propoganda, yaitu bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu. Karena itu, kita mesti berbahasa Indonesia. Pengertian ini dijabarkan oleh beberapa perusahaan supaya para karyawan tidak boleh berbahasa daerah sama sekali.

Di taraf pendidikan, dari pengertian tersebut juga dijabarkan bahwa bahasa daerah merupakan sesuatu yang haram. Bahkan, sebagaimana disebutkan sebelumnya, apabila siswa di sebuah sekolah kedapatan berbahasa daerah, mereka akan dihukum. Padahal, di sekolah tersebut juga konon diadakan “English Day”, yaitu kewajiban berbahasa Inggris pada hari tertentu. Saya sangat resah dengan fenomena tersebut. Saya bukan antibahasa asing. Hanya saja, menurut saya sangat tak masuk akal apabila kita mengagungkan bahasa asing, tetapi pada saat yang sama kita mengasingkan bahasa yang dilahirkan dan pernah dimuliakan di daerah itu.

Semacam Eksodus

Karena itu, saya selalu mengusap dada ketika mengikuti acara kebahasaan, lalu mendengar ucapan dari pihak pemerintah yang menggelisahkan, yaitu bahasa daerah sudah mulai punah. Mereka bahkan tak lupa menjejerkan alasan-alasan kepunahan serta membeberkan bahasa mana yang punah, mana yang terancam, dan mana yang masih steril. Sebagai penyempurna, mereka juga sigap memberikan wacana agar bahasa itu tak punah berikut cara-cara jitunya. Pertanyaannya adalah sejauh mana hal itu semua sudah diaplikasikan? Mengapa wacana itu berhenti sebatas wacana, berhenti sebatas ratapan? Mengapa detik ini kecintaan terhadap bahasa daerah makin redup, bahkan di kampung-kampung?

Hal itu semacam sebuah eksodus. Orang kampung sendiri mulai senang melihat putranya bisa berbahasa Indonesia. Logika yang tersembunyi di baliknya adalah bahasa daerah merupakan lambang ketidakberhasilan. Pesannya menyakitkan, yaitu tinggalkan bahasa daerah jika tak mau disebut tak berhasil! Pesan yang lebih barbar adalah sekolahlah tinggi-tinggi agar tak lagi berbahasa daerah. Pengertian yang dapat kita simak dari sini adalah biarlah kami (orang tua) saja yang mengemban “kebodohan” (karena masih berbahasa daerah). Kenyataan itu kemudian disambut dengan baik oleh pemerintah.

Oleh karena itu, di tingkat pemerintahan, pejabat membuat aturan bahwa bahasa ibu tak perlu dipelajari. Kalaupun dipelajari, cukup sebagai nostalgia. Bahasa itu cukup dimuseumkan. Dengan demikian, resmilah bahasa ibu dihilangkan, bahkan mulai digusur dari sekolah. Kita tinggal menunggu bahasa ibu digantikan bahasa ibu tiri. Pada saat itu bahasa ibu menjadi bangkai. Suatu saat kita akan berziarah ke kuburnya. Namun, dalam ziarah itu kita berbahasa asing. Miris sekali. Di kuburnya bahasa ibu pun harus terhina oleh bahasa asing. Semoga hal itu tak terjadi. Tentu caranya sederhana, yaitu dengan mengembalikan muruah bahasa ibu, setidaknya ke sekolah.


Penulis adalah guru bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, aktif berkesenian di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan Toba Writers Forum (TWF), dan instruktur sastra digital tingkat nasional.