Diterbitkan : 28
September 2021 07:44
Sumber : Gerakan Literasi Sekolah (GLS)
Penulis : I GEDE EKA PUTRA ADNYANA
Tantangan Guru sebagai “Generator” dan Penggerak Literasi
pada Era Digital 4.0
Oleh I Gede Eka Putra Adnyana
Fenomena riil
negeri ini hingga pada abad 21 atau era milenial dan kemajuan revolusi industri
dewasa ini ternyata masih ada warga atau masyarakat yang kurang respek terhadap
literasi atau bahkan tuna aksara. Warga yang tak melek membaca itu pun tidak
sedikit jika ditakar secara kuantitas atau dapat dikatakan hampir separuh
bahkan lebih dari jumlah warga kita. Yang lebih menyedihkan adalah usia-usia
yang masih produktif atau para generasi muda penerus dan garda bangsa ini yang
sangat lemah kualitas membacanya. Problem ini sesungguhnya menguak mata hati
nurani kita, terutama yang merasa lebih intelek, terlebih lagi selaku pendidik
atau guru. Ironis memang, bila kondisi warga ini ditengarai oleh faktor ekonomi
atau kemiskinan sehingga mereka lebih mementingkan upaya menyambung hidup
ketimbang melakukan kegiatan literasi.
Berpijak pada
fenomena tersebut, tugas kita selaku warga yang memiliki kemampuan lebih dalam
hal literasasi adalah membantu mereka, menyadarkan dan membangun budaya literat
dengan penuh kesungguhan. Sudah tentu bantuan yang diberikan dalam hal ini
berupa jasa yakni mengubah paradigma mereka agar melek huruf, melek baca-tulis
untuk pencerdasan kehidupan mereka tentunya sesuai dengan hak dalam memperoleh
pendidikan yang layak.
Untuk
mengejawantahkan kondisi itu perlu komitmen, kesukarelaan, dan pengabdian tanpa
batas. Namun dibalik itu, ada pertanyaan mendasar muncul, apakah perlu sentuhan
guru untuk upaya menjadikan anak-anak dalam berliterasi? Jika dijawab tidak,
mungkin terlalu naif, mengingat di masyarakat tidak terlalu responsif terhadap
pola asuh membaca, sekaligus tidak ada agenda-agenda khusus yang berani
mengelola masyarakat untuk sebuah misi literasi akhir-akhir ini. Oleh karena
itu, bagaimana solusi yang bisa diwujudkan untuk hal ini?
Tokoh
pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara pernah berseru bahwa perlu adanya
mobilisasi intelektual. Sebuah ajakan yang bersifat brilian untuk seluruh
intelekual Indonesia yang pada saat itu (tahun 1936) juga melakukan wajib
belajar. Semua orang yang melek huruf (bisa membaca menulis, berbicara dengan
baik) diminta menularkan kemampuannya kepada semua orang yang ada di
sekitarnya. Dengan semboyan “semua rumah menjadi tempat kegiatan
belajar-mengajar dan semua intelektual menjadi guru”. Pada esensinya kini,
kegiatan ini secara realistis sangat memungkinkan dilakukan mengingat
pentingnya kecakapan literasi baca-tulis pada era digital 4.0 atau jaman
milenial ini. Dengan ini diharapkan tidak ada lagi saudara sebangsa yang tidak
melek membaca apalagi tuna aksara.
Seandainya
anjuran Ki Hadjar Dewantara yang begitu brilian dan bijasana, dengan tujuan
agar semua orang yang memiliki kemampuan literasi mau dan mampu
mengimplementasikan kemampuannya itu kepada warga masyarakat yang memiliki daya
literasi rendah, maka bangsa ini secara perlahan dengan penuh keyakinan akan
memiliki warga yang melek baca, cerdas, dan mampu bersaing sesuai tuntutan
jaman. Di sisi lain, pemerintah sebagai penentu kebijakan tidak perlu beban
memuat regulasi untuk program literasi, biaya banyak, mencari atau membentuk
fasilitator untuk memberdayakan warga agar memiliki budaya literat. Jika saja
semu rumah bisa dijadadikan tempat belajar membaca dan menulis, pemerintah pun
tidak terlalu payah merancang biaya untuk sekadar membangun areal belajar untuk
membangun warga yang memiliki kesadaran literasi. Waktu belajar membaca-menulis
pun tidak mesti terlalu padat.
Kegiatan
belajar-mengajar yang bernuansa literasi dapat dilakukan secara rileks,
misalnya dilakukan satu atau dua kali pertemuan dalam seminggu dan setiap
pertemuan paling lama dua jam. Kondisi ini dilakukan secara konsisten dan
kontinyu dengan target indikator yang telah direncanakan yakni melatihkan,
membudayakan, mencintai, dan membentuk mental-mental yang literat. Bukan tidak
mungkin dalam jangka waktu setahun ke depan warga kita, anak-anak bangsa ini
akan memiliki kesadaran terhadap literasi dan akan memahami dengan sepenuh hati
terhadap arti penting membaca bagi kehidupan.
Masalahnya
sekarang, tinggal bagaimana memobilisasi guru dan para intelektual turut serta
dalam memberdayakan budaya literasi di kalangan warga anak-anak saat ini.
Mobilisasi ini bukan hal yang muluk-muluk atau mustahil sekalipun. Para penentu
kebijakan bisa menghemat biaya negara, misalnya dengan mengajak semua para
intelektual yang ada di masyarakat dengan penuh kesadaran untuk mau menjadi
guru yang memiliki misi membangun kesadaran literat untuk anak-anak saat ini.
Memang persoalan di lapangan tentu tidak sesederhana itu. Akan tetapi, paling
tidak jika anjuran Ki Hadjar Dewantara tersebut dapat dijadikan bahan
perenungan bersama, apalagi dijadikan sebagai sebuah gerakan pembelajaran yang
bersifat nasional. Dengan begitu negara ini akan menghemat anggaran yang tidak
sedikit hanya untuk program literasi.
Supaya tidak
sekadar wacana, yang paling urgen adalah pengimplementasian program secara
realistis dengan metode apa saja yang akan digunakan untuk membangun kesadaran
budaya literasi secara merata sehingga tidak ada ketimpangan. Harus terbukti
secara riil, yang tentu saja tidak bisa dengan mudah diwujudkan. Perlu kerja
keras, komitmen, saling koordinasi, dan kesungguhan hati dari semua stick
holder sehingga tidak sekadar seni retorika yang pada akhirnya hanya
meninggalkan jejak tipis. Begitu pula dengan warga anak-anak yang akan disasar,
tidak usah merasa beban apalagi risau. Usaha yang diupayakan oleh pemerintah
untuk pendidikan bagi seluruh warga negara patut disambut dengan semangat dan
dilakoni demi kecakapan masyarakat itu sendiri.
Pada akhirnya sepakat, dengan
meminjam istilah Bapak Fuad Hasan, kita tidak terlalu memerlukan guru yang
pintar, tetapi sangat dibutuhkan guru yang mampu menghidupkan dan menggerakkan
“generator” pemikiran anak bangsa ini.
Penulis,
Guru di SMAN 1 Kintamani, Bali
Pendiri rumah baca/rumah belajar dan Komunitas Literasi
di wilayah kaldera Kintamani, Bali