Sekolah semestinya menjadi taman indah, tempat paling subur untuk menyemai benih kasih sayang dan rasa saling memiliki bagi penghuninya. Tidak ada lagi rasa bosan, jengah, bahkan kekerasan di dalamnya. Nasihat dan keteladanan mulia selalu tumbuh serta mengalir.
Namun nyatanya tindak kekerasan sering terjadi di sekolah. Akibatnya, sekolah tak lagi ramah dan tidak menjadi rumah bagi peserta didik.
Karena itu dibutuhkan model resolusi konflik untuk menjembatani agar tidak terjadi kekerasan di sekolah. Baik yang dilakukan oleh guru ke murid, orangtua ke guru, sesama murid bahkan mungkin juga dari murid ke guru.
Pendidikan perdamaian dan resolusi konflik menjadi penting untuk segera diimplementasikan di sekolah-sekolah. Hal ini penting karena pendidikan perdamaian dan resolusi konflik memiliki banyak keutamaan bagi peserta didik, di antaranya dapat mengembangkan logika dan kreativitas berpikir anak.
Sejak dini anak-anak sebaiknya dapat dilatih untuk mengidentifikasi berbagai solusi alternatif dan memilih solusi yang terbaik berdasarkan pertimbangan untung rugi. Mereka juga sebaiknya dapat dibiasakan fokus pada masalah, bukan pada orang yang sedang berkonflik dengannya. Dengan kata lain, pemecahan masalah lebih utama daripada amarah.
Melalui latihan pemecahan masalah, anak juga dibiasakan untuk menghormati orang lain yang berseberangan dengannya. Tak kalah pentingnya, mereka mampu mengasah kemandirian dalam menyelesaikan masalah yang ada sehingga tidak mudah mengadu kepada orang yang dituakan, termasuk guru.
Setidaknya ada lima langkah yang harus dilakukan pihak sekolah dalam menciptakan pendidikan perdamaian dan resolusi konflik.
Pertama, warga sekolah sebaiknya menyepakati tentang budaya sekolah damai yang hendak ditanamkan di lingkungan sekolah dan bagaimana mekanisme penghargaan dan hukuman yang bersifat edukatif untuk membiasakan budaya tersebut.
Kedua, pihak sekolah mengembangkan kurikulum sekolah yang damai dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai perdamaian dan resolusi konflik. Seperti pemecahan masalah, kerja sama, dan toleransi, ke dalam unsur-unsur kurikulum (tujuan, materi, strategi pembelajaran, dan penilaian akademik murid). Kemudian merancang pengetahuan dan keterampilan manajemen konflik sebagai mata pelajaran tersendiri, atau mengadakan pelatihan manajemen konflik di luar jam belajar.
Ketiga, kelas yang damai memiliki lima ciri utama, yaitu kerja sama, komunikasi, ekspresi emosional, apresiasi terhadap perbedaan, dan resolusi konflik. Guru berperan sentral dalam menciptakan suasana kelas yang mencerminkan kelima ciri tersebut.
Keempat, murid dilatih untuk menjadi mediator untuk menengahi konflik teman-temannya melalui program mediasi sejawat. Dengan mediasi sejawat, guru-guru dapat berkonsentrasi dengan tugas pokoknya, sedangkan murid bisa bertanggung jawab menyelesaikan masalahnya sendiri.
Kelima, masyarakat, termasuk keluarga, berpartisipasi aktif dalam memastikan anak-anak memegang teguh nilai-nilai damai dan resolusi konflik yang telah didapat dari sekolah. Misalnya, mereka memastikan lingkungan keluarga dan masyarakat bebas dari kekerasan, seperti kekerasan dalam rumah tangga, main hakim sendiri, dan politik SARA. (Kurniawan Adi Santoso - Guru SDN Sidorejo, Sidoarjo, Jatim)