Banyak orang tua yang takut dan malu jika anaknya dijuluki nakal, tidak bisa diam dan lain sebagainya. Sehingga yang dilakukan adalah mendisiplinkan anak dengan berbagai cara.
Namun begitu, masih saja ada kegelisahan jika anak tidak dapat berperilaku sesuai dengan keinginan orang tua. Dikarenakan kerap menginginkan hasil yang instan, sehingga dalam menerapkan kedisiplinan, orang tua lebih banyak memilih ala militer.
Disiplin yang diinginkan orang tua tersebut tidak menimbang kondisi psikologi dan usia anak, serta pendekatan dari hati ke hati. Dalam hal ini, orang tua relatif memperlakukan anak bagai orang dewasa, dilarang tanpa penjelasan kenapa hal-hal tersebut dilarang atau memerintah tanpa dasar kenapa harus dilakukan. Yang ada hanya tekanan untuk terus menaati aturan yang semata-mata dibuat berdasarkan keinginan orang tua, tanpa menimbang kemauan si anak, ancaman dan hukuman jika melanggar atau tak melaksanakan.
Utamakan Proses
Sejatinya, disiplin menurut Munir Chatib dalam buku Orang Tuanya Manusia (2015) adalah hasil dari proses panjang yang melibatkan dua belah pihak, yaitu orang tua dan anak. Sehingga, ketika orang tua meminta anak untuk disiplin, maka ia harus mampu mengajak anak melakukan secara bersama dan menjadi panutan bagi anaknya pula.
Kesidiplinan akan tumbuh dengan baik jika orang tua mau membicarakan atau menyepakati aturan yang ingin diterapkan pada anaknya secara konkret. Memberikan contoh langsung pada aturan yang diterapkan, sehingga anak akan bercermin pada orang tuanya.
Sebaliknya, jika orang tua mendisiplinkan anak secara militer, ia hanya akan tertekan, melakukan hanya di depan orang tuanya dan melanggar di belakang orang tua serta mudah dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Keadaan ini yang sering dikeluhkan guru-guru di sekolah, melaporkan siswanya yang sulit diatur, namun orang tua si anak berdalih anaknya sangat penurut di rumah.
Disiplin yang dihasilkan bersifat sementara. Ia hanya takut pada orang tuanya. Ketika di sekolah, orang tuanya tidak bersama dan tidak melihat tingkah lakunya, anak merasa bebas mengekspresikan perasaannya. Ia tak mau mendengarkan gurunya karena kekuatan yang ditunjukkan oleh guru di sekolah tidak sebesar kekuatan yang diterimanya di rumah. Ia juga akan sangat mudah diajak untuk melakukan hal-hal buruk. Baginya, saat orang tua tak ada, ia bisa melakukan apa saja tanpa rasa takut.
Mendidik Sesuai Fitrah
Pendidikan berbasis fitrah yang disajikan Harry Santoso dalam bukunya Fitrah Based Education (2017) menjelaskan bahwa anak usia 0-7 tahun harus diperlakukan layaknya raja, diperhatikan, dipenuhi kebutuhannya, dilayani dengan sepenuh hati. Pada usia ini, anak-anak butuh hal yang konkret, bukannya abstrak, sehingga pemberian contoh sebagai bentuk penanaman kedisiplinan sangat penting.
Pada usia 8-14 tahun, anak-anak harus diperlakukan bagai tawanan, artinya mereka mulai dikenalkan berbagai aturan dan kewajiban yang harus mereka taati. Namun begitu, mereka wajib turut serta dalam pembuatan aturan, sehingga akan merasa bertanggung jawab pada aturan yang mereka buat sendiri.
Usia 15-21 tahun adalah hasil dari proses sebelumnya. Jika 2 tahapan pertama sukses, maka anak-anak tersebut akan tumbuh menjadi sosok hebat yang membanggakan orang tuanya.
Maka yang seharusnya dilakukan oleh orang tua adalah membiarkan anaknya nakal, selayaknya anak-anak, diiringi dengan bimbingan orang tua serta pengajaran tentang berbagai makna hidup. Seiring ia tumbuh, kenakalannya akan berkurang dan tergantikan dengan wawasan yang luas dan keberanian melakukan berbagai kegiatan bermanfaat.
Anak akan memiliki karakter positif yang bermanfaat bagi masa depannya. Tumbuh menjadi generasi tangguh dengan kepercayaan diri yang tinggi, dengan segudang pencapaian prestasi sesuai bakatnya masing-masing. (Muazzah, S.Si, M.A - Guru Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh)