(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Pembelajaran Sains dalam Keluarga

Admin disdikpora | 17 April 2018 | 736 kali

Tersebutlah kisah seorang ayah yang menemani anaknya bermain ubin-ubin. Si ayah menyusun ubin-ubin berbaris ke atas di kursi si anak, menjadi sebentuk domino, dan si anak dengan antusias akan mendorong satu ubin sehingga yang lain akan jatuh.

Setelah agak cakap, si anak mulai menyusun sendiri ubin-ubin itu. Dalam waktu singkat, mereka berdua menyusun bersama dengan beberapa pola yang semakin rumit: dua ubin putih dan satu ubin biru, dua ubin putih dan satu ubin biru, dan seterusnya.

Dalam satu kesempatan, si ibu berkata, ”Biarkan saja si kecil bermain sendiri. Jika dia ingin meletakkan yang biru, biarkan dia meletakkan yang biru,” Namun, si ayah menjawab, ”Tidak, aku ingin menunjukkan padanya pola-pola dengan permainan ubin ini. Ini kan dasar-dasar matematika,” Tanpa terasa, sang ayah telah mengajari si anak tentang dunia dan betapa menariknya dunia itu.

Pada satu kesempatan yang lain, si ayah membacakan ensiklopedia Britannica. Pada bab Tyrannosaurus rex, si ayah membacakan, ”Dinosaurus ini tingginya 7 meter dan diagonal kepalanya 2 meter,” Si ayah tentu tahu bahwa kalimat ini tidak berarti apa pun bagi si anak.

Ia berhenti, meletakkan buku itu, dan berkata, ”Sekarang mari kita lihat apa maksudnya. Artinya, jika ia berdiri di halaman depan kita, ia bisa meletakkan kepalanya di jendela kita,”

Dua orang itu ada di lantai dua rumah mereka. ”Tetapi kepalanya terlalu besar untuk masuk ke jendela ini,” Pelajaran penting dalam membaca atau membacakan: selalu hubungkan bacaan sebaik mungkin dengan realitas terdekat yang ada, harus konkret dalam semesta kita.

Si anak kelak menyadari: ’semua yang kubaca langsung kubayangkan hubungannya dengan kehidupan sehari-hari,’

Di lain waktu, saat bermain di lapangan, teman si anak berseru, ”Lihat burung itu. Jenis burung apa itu?” Si anak menjawab pendek, ”Aku tidak tahu.”

”Itu murai berparuh coklat. Ayahmu tidak mengajarkan apa-apa!” kata temannya. Tak hanya itu, si teman juga menyebutkan nama murai dalam bahasa-bahasa lain: Chutto Lapittida (Itali), Bom Peida (Portugis),Chun-long-tah (Cina), Katano Tekeda (Jepang).

Inilah pembelajaran ilmu alam (sains) yang justru menghilangkan dasar sains itu sendiri: penalaran. Ada perbedaan besar antara mengetahui nama sesuatu dan memahami sesuatu itu sendiri.

Si ayah memberikan gambaran yang jelas, “Misalnya, lihat: burung itu mematuk bulunya setiap waktu. Apakah kamu melihat dia berjalan sambil mematuki bulunya?”

”Ya,” jawab si anak. ”Menurutmu, kenapa burung itu mematuki bulu-bulunya?” ”Mungkin bulu-bulunya kusut saat terbang, jadi mereka mematukinya untuk meluruskannya kembali,” kata  si anak menjawab.

”Baiklah,” kata ayahnya, ”Jika itu kasusnya, mereka juga akan sering mematuki sesaat setelah mereka terbang. Sehingga, begitu sampai di tanah mereka tidak akan mematuki bulunya terlalu sering lagi—kamu tahu apa yang aku maksudkan?”

Sejenak, si anak berpikir: jika diperhatikan dengan seksama, tidak banyak perbedaan antara burung yang baru mendarat dan yang sudah di tanah: sama-sama sering mematuki bulunya.

”Aku menyerah. Kenapa burung mematuki bulunya?”

Si ayah memberi penjelasan: ”Sebab ada kutu yang mengganggunya. Kutu-kutu itu memakan lapisan protein yang keluar dari bulu burung. Setiap kutu memiliki cairan minyak di kaki-kakinya, dan tungau memakan cairan itu. Tungau itu tidak mencernanya dengan sempurna, jadi mereka mengeluarkan dari anusnya sesuatu seperti gula, dan di situlah bakteri berkembang. Jadi, kamu lihat, di mana saja ada sumber makanan, pasti ada beberapa bentuk kehidupan yang bisa ditemui.”

Begitulah, sejak kecil, si anak diasuh dan diajari memperhatikan sesuatu dengan cermat dan seksama, mengikuti metode kerja ilmuwan yang paling sederhana.

Dan, meski si anak sudah menjadi ilmuwan, si ayah tetap terus bertanya pada si anak, seakan kewajibannya mendidik tak selesai baik bagi si anak atau dirinya. Kelak kita mengenal si anak sebagai Richard P. Feynman (1918-1988), fisikawan legendaris yang mendapatkan Hadiah Nobel Fisika tahun1965. *M. Fauzi Sukri, Koordinator Tadarus Buku di Bilik Literasi Solo dan penulis buku Guru dan Berguru (2015)