Penyiksaan fisik oleh majikannya di Hong Kong merupakan nasib yang harus dijalani seorang buruh migran asal Indonesia. Dipaksa tidur di lantai, bekerja 21 jam per hari, dan tidak diizinkan libur. Dia bahkan kerap dipukuli dengan berbagai peralatan rumah tangga seperti gagang sapu, penggaris, dan gantungan baju.
Setelah disiksa selama 8 bulan, luka-lukanya terinfeksi dan buruh migran ini tidak juga dibawa berobat ke dokter. Ia dibiarkan dalam kondisi lemah dan tidak mampu berjalan. Majikannya mengatur keberangkatannya ke Indonesia dan memberinya uang sejumlah $70HKD serta mengancam akan membunuh orangtuanya jika ia berani menceritakan penyiksaannya pada orang lain.
Ditinggalkan sendiri di bandara internasional Hong Kong dalam kondisi tidak mampu berjalan, Erwiana, nama buruh migran tersebut, bertemu dengan Rianti, rekannya sesama warga negara Indonesia, yang membantu mengantarkannya ke rumahnya di Ngawi. Rianti juga membawanya ke sebuah rumah sakit di Sragen untuk merawat luka-lukanya.
Peristiwa yang terjadi pada pertengahan tahun 2013 lalu itu akhirnya terkuak, bahkan mendunia setelah rekannya tersebut memviralkan foto dan kisah Erwiana. Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono dan Kepala Eksekutif Hong Kong bahkan langsung turun tangan.
Beruntung kisah Erwiana bergulir sedemikian luas dan mendorong terjadinya aksi oleh sejumlah asosiasi buruh migran di Hong Kong. Aksi yang melibatkan tidak kurang dari 5000 masa pada waktu itu membuat Amnesty Internasional juga bereaksi dengan mengeluarkan tuntutan agar pemerintah Hong Kong dan Indonesia lebih memperhatikan hak-hak buruh migran.
Sekelumit kisah Erwiana tersebut diungkap dalam sesi talk show, yang menjadi puncak acara Orientasi Teknis Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Talkshow ini dikatakan menggungah oleh sebagian besar peserta yang hadir. Dalam lembar rencana aksi, 80 peserta dari unsur Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota, pengawas, dan organisasi mitra menyatakan akan mengikuti jejak perjuangan Erwiana.
Penyebar luasan gagasan, edukasi kepada masyarakat, serta membangun ketahan keluarga menjadi agenda tindak lanjut peserta, baik secara pribadi maupun bersama di tingkat Provinsi.
Rencana aksi yang disusun peserta tersebut, menjadi komitmen tertulis setelah Betty Sinaga, pegiat PTPPO dalam sesi refleksi menegaskan bahwa keluarga terdekat berpotensi untuk menjadi pelaku perdagangan orang. Rencana aksi ini penting untuk memutus mata rantai perdagangan orang.
Sebagaimana dibahas dalam sesi-sesi kelompok, perdagangan orang (human trafficking) adalah tindak melanggar hukum yang juga merupakan pelanggaran berat HAM karena memindahkan manusia dari satu tempat ke tempat lain dengan mengupayakan persetujuan dari korban melalui cara-cara intimidasi, penipuan, kekerasan, penculikan, dan pemalsuan data dengan tujuan eksploitasi dan perbudakan.
Korban tidak jarang menyetujui dirinya dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain karena telah dicabuli, disiksa, berutang, atau dibohongi. Bentuk kerja paksa yang umum ditemui adalah perbudakan seksual, pengambilan organ tubuh, serta bekerja tanpa upah layak dan dalam suasana kerja yang tidak manusiawi.
Perempuan dan anak-anak adalah korban utama perdagangan manusia walaupun belakangan juga diidentifikasi bahwa laki-laki yang bekerja sebagai awak kapal juga rentan menjadi korban perdagangan orang. Rata-rata kapal yang berlayar tidaklah memonitor satu per satu awaknya dan ketika kapal berlayar antarbatas negara, bahkan di negara ketiga, maka lebih sulit dilakukan pemantauan akan kehidupan awak kapal. Yang memprihatinkan adalah karena usia korban bergerak semakin muda.
Dikatakan oleh Dirjen Harris Iskandar yang membuka kegiatan ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengemban mandat upaya-upaya pencehagan PTPPO. Utamanya Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, Harris mengatakan pentingnya keluarga dalam menyiapkan anak-anaknya dengan keberanian dan ketahanan diri (resilient) dalam menghadapi tantangan zaman. (Sri Lestari Yuniarti - Subdit Pendidikan orang tua)