rasanya kita sering mendengar istilah sekolah inklusi. Sekolah biasa atau reguler yang menyediakan sarana dan prasarana serta guru pendamping untuk peserta didik berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan peserta didik normal.
Sebagai sekolah inklusi, sekolah tersebut tidak membeda-bedakan peserta didik berdasarkan kemampuan atau kelainan yang dimiliki. Artinya, pelayanan yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas prinsip persamaan hak dan keadilan bagi setiap peserta didik.
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan terdapat sekitar 32 ribu sekolah reguler yang menjadi sekolah inklusi di berbagai daerah. Jumlah peserta didik sekitar 299 ribu dari berbagai jenjang pendidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga kian gencar memberikan pelatihan kepada guru-guru yang sekolahnya ditunjuk menjadi sekolah inklusi.
Hal ini tentunya angin segar bagi orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus agar dapat menyekolahkan anaknya bersama siswa normal lainnya. Pasalnya, selama ini masih banyak orangtua merasa malu untuk menyekolahkan anaknya di sekolah luar biasa (SLB). Salah satu alasannya SLB sekolah untuk anak-anak yang tidak normal baik secara fisik maupun psikis.
Namun, dengan keberadaan sekolah inklusi ini, bukan berarti orangtua lepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya ABK ke sekolah. Dalam pedoman pelaksanaan pendidikan inklusif pada White Paper No. 6 tahun 2001 Departemen Pendidikan Nasional dinyatakan dengan jelas bahwa keterlibatan aktif orangtua dalam proses belajar mengajar sangat penting dalam pembelajaran dan pengembangan yang efektif bagi anak.
Sejatinya, ketika orangtua menyekolahkan ABK di sekolah inklusi, maka segala sesuatu yang disampaikan guru di sekolah semestinya ditindaklanjuti para orangtua di rumah. Hal ini, bertujuan agar anak-anak yang berkebutuhan khusus menjadi anak yang lebih mandiri.
Hewett dan Frenk D dalam The Emotionally Child In The Classroom Disorders, USA: Ellyn and Bacon, Inc, 1968, mengatakan, peran orangtua terhadap anaknya yang berkebutuhan khusus adalah:
Pertama, sebagai pendamping utama dalam membantu tercapainya tujuan layanan penanganan dan pendidikan anak
Kedua, sebagai advokat, yakni mengerti, mengusahakan, dan menjaga hak anak dalam kesempatan mendapat layanan pendidikan sesuai karakteristik khususnya
Ketiga, sebagai sumber data yang lengkap dan benar mengenai diri anak dalam usaha intervensi perilaku anak
Keempat, sebagai guru, yakni berperan menjadi pendidik bagi anak dalam kehidupan sehari-hari di luar jam sekolah
Kelima, sebagai penentu karakteristik dan jenis terapi, terutama di luar jam sekolah.
Intinya, peran orangtua ABK itu penting karena yang paling mengerti karakteristik, kebiasaan, dan kebutuhan anak mereka. Pengalaman dan pengetahuan orangtua tentang anaknya itu dapat diinformasikan kepada guru sehingga dapat memfasilitasi dan membuat program pendidikan sesuai kebutuhan Peserta didik. (Yanuar Jatnika. Foto: Fuji Rachman)