Merokok, dari zaman dulu sampai sekarang bagi pelajar adalah pelanggaran berat. Barang siapa ketahuan mengisap, bersiaplah menerima hukuman.
Seiring, semakin ketatnya aturan larangan merokok di lingkungan sekolah, ternyata jumlah perokok usia remaja terus bertambah. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi merokok pada remaja, berumur 10-18 tahun, tercatat sebesar 9,1 persen, meningkat dibanding Riskesdas 2013 yakni 7,2 persen dan 8,8 persen (Sirkesnas 2016).
Penyebab perokok remaja bertambah, mulai harga rokok yang dianggap murah dan mudah dibeli termasuk oleh anak-anak sekalipun, iklan yang gencar terutama menggambarkan merokok itu keren, lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang baik keluarga maupun masyarakat yang menganggap rokok dan merokok sebagai salah satu cara bersosilisasi, serta faktor-faktor lain.
Bila membaca Angka Partisipasi Sekolah (APS), besar kemungkinan para remaja yang mulai dan kecanduan menghisap tersebut, kebanyakan anak-anak sekolah. Pada tahun 2017 APS usia 7-12 tahun mencapai 99,14 persen, usia 13-15 tahun 95,08 persen, usia 16-18 tahun mencapai 71,42 persen.
Usaha mengurangi kebiasaan merokok dikalangan siswa, sesungguhnya sudah dilakukan sekolah, sejak dulu. Seperti, melalui hukuman. Hukuman di sekolah selain berfungsi menghentikan pelanggaran juga untuk mengarahkan peserta didik, mengetahui dan menyadari apa yang dilakukan itu dapat menyebabkan timbulnya beragam dan macam penyakit. Bukan hanya merugikan atau berdampak pada kesehatan diri atau individu perokok, juga orang lain yang terpapar asap rokok.
Hukuman
Mungkin, bagi kita yang bersekolah tahun 2000 kebelakang, pernah menjalani atau melihat siswa merokok dihukum berdiri di tengah-tengah lapangan sekolah, di tengah terik matahari, tangan ke belakang, disaksikan sebagian besar siswa, mulut diisi berbatang-batang rokok, konon katanya menghisap rokok sampai dada terasa sesak, kaki pegal-pegal karena berdiri.
Hukuman tersebut perlahan-lahan mulai tak terlihat dan tak terdengar lagi. Selain dianggap tak manusiawi, juga terkesan melarang namun seolah-olah meminta siswa terus merokok. Bukannya sadar dan menyadari kesalahan, yang timbul dendam. Dipermalukan, disakiti, sakit hati timbul.
Waktu itu, masih banyak kegiatan atau perlombaan yang melibatkan peserta didik, termasuk kejuaraan olahraga antar siswa sponsornya rokok. Iklan rokok juga banyak terlihat menempel pada lapangan olahraga di sekolah. Beruntungnya, iklan rokok kemudian dilarang masuk sekolah.
Tahun 2015, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan peraturan nomor 64 tahun 2015, tentang Kawasan Tanpa Rokok Di Lingkungan Sekolah. Disebutkan, kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan pihak-pihak lain dilarang merokok, memproduksi, menjual, mengiklankan atau atau mempromosikan rokok di Lingkungan Sekolah.
Barangkali geram, karena masih ada siswa yang merokok dilingkungan sekolah, tahun 2017, salah satu sekolah di Ibu Kota, mengeluarkan salah satu siswanya, yang merokok di lingkungan sekolah. Pihak sekolah juga mengajukan pencabutan Kartu Jakarta Pintar (KJP), untuk dua orang siswa yang ikut merokok. KJP, semacam kartu bantuan pendidikan.
Tahun 2016, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi (waktu itu) memberikan sanksi tegas terhadap pelajar yang terbukti merokok. Teguran, pemotongan nilai, tidak naik kelas, sampai dikembalikan lagi pada orangtua, alias dipecat dari sekolah karena dianggap tidak bisa lagi dididik di sekolah.
Masih banyak aturan yang dikeluarkan pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk mengurangi kebiasaan merokok, di kalangan pelajar. Hasilnya belum menggembirakan.
Teladan
Kepala sekolah wajib menegur dan atau memperingatkan, mengambil tindakan terhadap guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik apabila merokok, terutama di kawasan sekolah.
Larangan tersebut dirasa adil karena sering terjadi, di lingkungan sekolah yang menerapkan aturan kawasan bebas rokok, sementara sebagian guru, tenaga kependidikan, pihak lain yang berkunjung ke sekolah, seolah dibiarkan kalau merokok. Termasuk menghukum siswa pun, kerap sambil merokok.
Ada anggapan pada orang dewasa juga guru, merokok itu tidak baik bagi peserta didik, karena anak-anak belum mempunyai penghasilan, paru-paru yang belum kuat, dan sebagainya. Padahal, guru merokok di lingkungan sekolah bisa menjadi contoh (teladan) buruk pada peserta didik.
Pihak sekolah harus terus menegakan aturan ketat, larangan merokok. Bila kantin masih menjual rokok (tentu dengan sembunyi-sembunyi), pihak sekolah harus bertindak tegas, mengeluarkan pedagang yang berjualan rokok, namun diawali sosialiasi aturan; larangan rokok bukan semata kebijakan sekolah namun juga aturan kementrian dan juga aturan daerah, dimana sekolah berada.
Sekolah wajib melakukan pembinaan kepada peserta didik yang merokok di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Bekerjasama dengan lingkungan sekitar sekolah, terutama pedagang atau pemilik warung, tidak menjual rokok pada siswa. Meminta masyarakat melaporkan siswa yang membeli langsung atau tidak langsung rokok, sehingga sekolah bisa mengetahui, mengawasi kebiasaan merokok siswanya.
Sekolah tidak bisa lagi berdalih, karena peserta didik merokok di luar lingkungan sekolah, sehingga hal tersebut menjadi tanggung jawab orangtua. Sekolah dan orangtua harus kerja sama.
Sekolah bisa merekomendasikan mencabut beasiswa atau bantuan biaya pendidikan peserta didik yang orangtuanya merokok. Sebab berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) salah satu faktor penyebab kemiskinan konsumsi rokok cukup besar, mengalahkan biaya pendidikan. Selain itu dengan sistem jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin, akibat kesehatan yang ditimbulkan rokok juga harus ditanggung pemerintah.
Kembali pada siswa, pihak sekolah sudah seharusnya melakukan kolaborasi dengan pihak-pihak terkait, seperti dinas kesehatan, dalam menyosialisasikan bahaya rokok. Melakukan kampanye bahwa tidak merokok itu keren. Sebab, gambar seram yang ada pada bungkus rokok, belum berpengaruh banyak dalam mengurangi perokok remaja.
Pihak sekolah sekali-kali bisa mengajak siswa mengunjungi puskesmas atau rumah sakit yang menangani pasien akibat rokok, melihat seberapa jauh bahaya rokok. Para siswa mendengarkan kesaksian pasien yang terkena penyakit yang timbul akibat rokok, sebagai pelajaran untuk hidup lebih baik, tanpa rokok.
Bahaya rokok juga bisa masuk ke dalam kurikulum. Semua pelajaran pada dasarnya bisa memasukan bahaya rokok dalam materi atau bahan ajar. Pelajaran ekonomi misalnya, bisa mengajarkan bagaimana pengaruh rokok terhadap pendapatan. Bagaimana rokok bisa menyedot APBN dan APBD untuk membiayai kesehatan yang ditimbulkan rokok.
Pelajaran agama bisa membahas hukum merokok. Pelajaran biologi, kimia dan sebagainya juga bisa memasukan bahaya rokok, yang disesuaikan dengan materi yang disampaikan.
Pengetahuan bahaya rokok disampaikan, keteladanan diberikan, kerjasama antara pihak sekolah, guru, lingkungan sekitar sekolah dan orang tua, dalam upaya menurunkan perokok remaja terus ditingkatkan, mudah-mudahan menjadi jalan mengurangi perokok di kalangan remaja.
Asal jangan melarang merokok sambil merokok. Sepertinya upaya mengurangi jumlah perokok remaja bisa lebih dioptimalkan. (Ginanjar Hambali-Guru SMAN 7 Pandeglang. Foto: Fuji Rachman)