Pak Guru sering duduk menempati kursi kosong di sebelahku. Dulu, ketika awal masuk kelas satu, aku berebut kursi itu dengannya. Ia ingin membawa keluar kursi itu dari kelasku dan aku ingin mempertahankan kursi itu tetap berada di sampingku, dan aku memenangkan drama perebutan itu. Sekarang malah dia yang sering menempatinya: teman-temanku punya teman sebangku, bahkan ada yang duduk bertiga, aku sering sebangku dengan Pak Guru.
“Pak Guru kursinya di depan sana.” kataku.
“Salin tulisan Pak Guru di papan tulis! Lihat, teman-temanmu semua melakukannya,” katanya.
Dia memegang tanganku dan menuntunku menulis. Kuletakkan daguku di punggung telapak tangan kiriku yang menempel di meja sambil melihat punggung teman di depanku. Ia terus menuntunku menulis sampai aku tarik tanganku dan berlari ke luar kelas. Aku tidak mempedulikan dia memanggil-manggil namaku. Aku tahu dia tidak akan mengejarku karena dia sudah aku buat bosan. Setiap hari harus mengejarku dan aku akan berlari keluar lagi setelah dia berhasil menangkap dan menggendongku ke dalam kelas.
Aku baru kembali ke kelas ketika jam istirahat. Teman-temanku semua bermain di luar. Mukaku panas setelah bermain di halaman sekolah. Aku mengguyurkan air minum bekalku ke kepala dan mukaku. Rambutku basah, mukaku basah, bajuku basah, dan lantai juga basah.
Ku ambil salah satu tas temanku yang duduk bertiga. Aku pindahkan ke kursi kosong di sebelahku.
Setelah jam istirahat selesai dan teman-temanku masuk kelas, kami berebut tas. Temanku jatuh terpeleset karena lantai yang basah. Dia menangis keras sekali saat Pak Guru masuk kelas. Pak Guru mengembalikan tas temanku ke tempat semula dan temanku berhenti menangis.
“Air apa ini?” tanya Pak Guru
“Aku kepanasan, Pak Guru, aku pakai air bekalku untuk menyejukkan kepala dan mukaku,” jawabku.
“Banyak air di kamar mandi kalau kau kepanasan. Air bekalmu itu untuk kamu minum.” kata Pak Guru.
“Aku sudah minum es, Pak Guru.”
Besoknya, aku memakai air bekalku lagi untuk mengguyur kepala dan mukaku. Tapi tidak ada temanku yang terpeleset; tidak ada yang berebut tas di atas lantai yang basah itu. Tidak ada tas temanku yang aku pindah ke bangku sebelahku. Aku sudah bosan, sudah belasan kali aku pindah tas temanku tapi mereka mengambilnya lagi.
Besoknya lagi air bekalku tidak aku pakai untuk mengguyur kepala dan mukaku. Air itu hanya aku pakai untuk minum.
“Kenapa dengan airmu? Kenapa tidak kau guyurkan lagi ke kepala dan mukamu” tanya Pak Guru.
“Ini air kepandaian, Pak Guru, ibu mendapatkannya dengan susah payah katanya. Aku harus menghematnya. Air ini akan membuatku pandai jika aku meminumnya.”
Mungkin ibu tahu dari Pak Guru kalau aku tidak suka menyalin tulisan dan mendengarkan ceramahnya sehingga ibu membekaliku dengan air kepandaian yang rasanya sedikit asin, bukan air mineral seperti biasanya. Dengan meminum air ini aku bisa pandai tanpa harus menyalin tulisan dan mendengarkan ceramah dari Pak Guru.
Sumber : https://ayoguruberbagi.kemdikbud.go.id/artikel/air-kepandaian/