Berhenti Membandingkan Anak: Luka Tak Terlihat yang Membekas
Seumur Hidup
PAUDPEDIA— Ayah, Bunda, Sobat PAUD, pernahkah teringat masa
kecil ketika orang tua berkata, 'Iihat tuh kakakmu bisa begini, atau anak
tetangga sudah begitu," bahkan kadang dibandingkan
dengan mereka sendiri, 'dulu Bunda kecil sudah bisa ini, masa kamu belum?
Atau mungkin Sobat PAUD pernah melihat anak-anak di sekitar
kita diperlakukan seperti itu?"
Kadang membanding-bandingkan ini mungkin niat awalnya untuk
memotivasi agar anak bisa menjadi lebih baik. tapi tahukah Ayah Bunda
perlakuan ini sangat melukai hati dan mencabik perasaan
mereka. Tidak hanya itu, anak juga akan merasa tidak berharga dan tidak pernah merasa
cukup akan dirinya sendiri.
Untuk mengetahui lebih dalam dampak membanding-bandingkan
anak, mari kita simak penjelasan berikut ini
1. Menurunkan kepercayaan diri. Saat dibandingkan. anak
merasa dirinya lebih buruk dan tidak berdaya. Perasaan ini akan terus membuat
kepercayaan diri mereka turun, bahkan mungkin saja
membuatnya murung. Tidak hanya itu, periakuan tersebut juga menbuat anak melihat dirinya sebagai orang yang tidak mampu dan
tidak layak untuk dihargai.
2. Merusak mental anak di masa yang akan datang. Sejatinya
setiap manusia memiliki perasaan. termasuk anak-anak. Mereka juga butuh.
diterima apa adanya. Namun, ketika hidup dalam pengasuhan
yang tidak sepenuhnya menerima dan sibuk mencari celah kekurangan.
anak-anak justru akan merasa “tidak pernah cukup”. Mereka
akan terus meragukan dirinya sendiri, pada akhirnya terus tumbuh dengan mental
yang berantakan.
3. Munculnya rasa iri dan cemburu. Hati anak mana yang tidak
terluka saat orang tua tidak pernah melihat cahaya kecil yang ada dalam
dirinya? Seolah kesempurnaan hanya milik saudara/orang lain.
Perasaan ini akan membuat anak merasa kalah, lalu menimbulkan rasa iri bahkan benci
yang berujung permusuhan.
4. Hubungan dengan orang tua menjadi renggang. Anak merasa
orang tua tidak berpihak padanya, maka jarak emosional tak lagi bisa
dihindari. Saat remaja ia cenderung menutup diri dan mungkin
jarang ngobrol dengan orang tua. Tidak hanya itu, iapun sulit merasakan
hangatnya sebuah rumah untuk pulang, atau bahkan mungkin
bertanya-tanya “di mana sebenarnya rumah tempat pulang untuk bisa
berbagi dan diterima dengan utuh itu?" pastinya
perasaan semacam ini tidaklah mudah untuk dilewati.
5. Menunjukkan perilaku memberontak. Beberapa anak akan
merespons dengan cara berontak menentang aturan. melawan orang tua.
bahkan bersikap kasar. Padahal sebenarnya mereka cuma ingin
mengatakan “terimalah aku apa adanya, jangan paksa aku menjadi orang lain”,
hanya saja mereka tidak mampu mengungkapkan rasa itu dalam bentuk kata-kata.
Menyadari betapa pentingnya menerima anak apa adanya adalah
keutamaan, mari kita sebagai orang tua terus berupaya menjadi tempat yang
hangat, aman, dan penuh penerimaan karena anak terlahir
dengan beragam kemampuan dan karakter yang patut kita hargai tanpa menghakimi.
Yuk terus berikan pengasuhan positif untuk anak-anak kita,
mereka layak dimengerti, layak didengarkan dan layak diterima dengan utuh.