(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Karena Sastra juga Bisa Membangun Karakter

Admin disdikpora | 18 April 2024 | 559 kali

Keliru besar kalau kita mengartikan sastra sebagai khayalan, pada posisi semesta pun masih khayalan. Sampai saat ini, bahkan yang saintifik-matematis sekalipun, masih berupa khayalan. Siapa yang tahu berapa ukuran panas matahari secara akurat, menghitung jaraknya, sementara kita belum pernah sampai ke sana? Siapa yang bisa menghitung jarak semesta dari sudut yang satu ke sudut yang lain, sementara kita pun belum bisa hidup di planet terdekat: Mars. Siapa yang bisa menemukan jalan bahwa setelah kematian pasti ada kehidupan, sementara kita masih hidup dan belum pernah jumpa dengan orang yang bangkit dari mati?

            Dengan demikian, benarlah apa yang kemudian dituliskan Conrad William Watson bahwa cerita fiksi dan pendidikan karakter itu beririsan. Watson kemudian mengutip Robin Dunbar yang menguraikan hasil penelitiannya bahwa manusia dari zaman purba sampai sekarang sangat terpengaruh cerita fiksi. Manusia tak akan bisa terbang kalau tak terpengaruh cerita fiksi. Itulah sebabnya Albert Einstein mengatakan bahwa khayalan lebih “menakjubkan” daripada logika sebab logika hanya akan mengantar kita dari A ke B, sementara khayalan mengantar kita ke mana-mana.

            Kita melewati masa nomaden adalah karena fiksi. Manusia selamat dari peradaban kuno bukan karena adaptasi, melainkan karena imajinasi. Dinosaurus, meski kekar dan bahkan ditengarai menjadi pucuk rantai makanan, tak bisa beradaptasi karena memang tak bisa berimajinasi sehingga hewan paling besar sepanjang sejarah itu punah. Akan tetapi, siapa dapat mengukur kebesaran dinosaurus? Siapa bisa membuktikan bahwa ada suatu masa saat dinosaurus hidup? Siapa bisa mengatakan dinosaurus pernah ada? Siapa pula bisa menerka bentuknya? Itu semua berkat kesukaan kita berimajinasi.

Tindakan Produktif

            Di sinilah nyata bahwa imajinasi hampir menjadi segalanya. Rachmawati dan Kurniaty (2010) mengartikannya sebagai kemampuan berpikir divergen yang dilakukan tanpa batas, seluas-luasnya, dan multiprespektif dalam merespons suatu stimulasi. Itulah mengapa saya sangat setuju agar gerakan membaca selama15 menit di ruang kelas sebelum mata pelajaran dimulai harus dilakukan berkelajutan sebab objek bacaan akan membangun karakter kita. Kemampuan berpikir kita juga akan diletupkan. Secara tak langsung, ini pasti akan memengaruhi tingkah dan cara berpikir kita.

            Dengan ucapan lain, membaca (apalagi karya sastra) adalah tindakan produktif. Joko Pinorbo mengatakannya begini, (jika) masa kecil kau rayakan dengan membaca; kepalamu berambutkan kata-kata. Artinya, membaca (karya sastra) adalah berinvestasi. David C. Mc. Clelland—psikolog sosial asal Amerika yang sangat tertarik pada masalah-masalah pembangunan—telah membuktikan itu dalam penelitiannya. Konon, Clelland meneliti faktor kemajuan sebuah bangsa. Dia membandingkan Inggris dan Spanyol yang pada abad ke-16 merupakan dua negara raksasa.

Bedanya, sejak saat itu, Inggris makin jaya, tetapi Spanyol melempem. Mengapa? Sebagaimana dimuat dalam buku Arief Budiman yang berjudul Teori Pembangunan Dunia Ketiga (1995)ternyata faktor penentunya ada pada muatan cerita buku. Tampaknya, dongeng dan cerita anak-anak di Inggris pada awal abad ke-16 mengandung semacam virus yang menyebabkan pembacanya terjangkiti penyakit "butuh berprestasi" (need for achievement). Sebaliknya, Spanyol malah didominasi cerita romantis, lagu-lagu melodramatis, dan tarian yang justru membuat penikmatnya lunak hati dan meninabobokan.

Artinya, sastra bukan semata karangan-karangan khayalan biasa. Sastra adalah jiwa yang menubuh. Sastra adalah pelecut dan penentu. Bahkan, sastra adalah pencipta. Konon, Indonesia pun lahir dari puisi. Parni Hadi mengemukakan bahwa secara genealogis, teks Sumpah Pemuda asalnya dapat dirunut dari puisi Muhammad Yamin (23 Agustus 1903—7 Oktober 1962), “Tanah Air” (Jong Sumatra, Juli 1920), “Bahasa, Bangsa” (Februari 1921), “Tanah Air” (9 Desember 1922), yang lebih panjang dari puisi sebelumnya, dan “Indonesia, Tumpah Darahku” (26 Oktober, 1928). Sumpah Pemuda dipahami sebagai puncak prosa dari gabungan puisi itu.

Mohammad Iqbal, sang penyair dan filsuf Pakistan, juga menguatkan hal yang sama bahwa negara lahir dari tangan penyair. Riset bahkan membuktikan bahwa puisi (sastra) dapat mengendurkan denyut jantung, dan irama napas menjadi harmoni (International Journal of Cardiology 6/9/2002). Ini semakin meneguhkan kepada kita bahwa sastra itu tidak sekadar memberi hidup, tetapi juga menghidupi. Sastra bukan khayalan-khayalan tukang cendol. Sastra adalah dorongan untuk berpikir.

Ini dapat diterima dengan analogi sederhana. Bahwa segala kenyataan saat ini, misalnya, adalah imajinasi masa lalu. Itu sama dengan bahwa segala imajinasi saat ini adalah kenyataan di masa depan. Hal itu berarti bahwa kalau tak berimajinasi, kenyataan di masa depan hanyalah olok-olok. Karena itu, mengekor pada Eagleton (1983), imajinasi harus dipandang sebagai kekuatan yang berdiri sendiri, otonom, yang dapat melampaui batas-batas realitas. Imajinasi adalah bibit unggul sebuah kenyataan.

Anda pernah dengar dongeng Atlantis dalam hikayat Timaeus dan Critias karangan Plato pada 428 SM—348 SM? Negeri dalam dongeng itu sangat menginspirasi sehingga kini sedang dicari-cari. Padahal, kalau ngotot dengan logika, untuk apa itu dicari? Akan tetapi, di sinilah sastra mampu melecutkan tindakan manusia. Oleh karena itu, tokoh sekaliber Heinrich Himmler (ilmuwan NAZI) pada 1938 harus menelusuri Tibet. Pada tahun 2005 Arysio Santos pun—pakar fisika dan nuklir dari Brazil—mencari dan akhirnya mengeklaim telah menemukan Atlantis. Letaknya konon ada di Indonesia. Stepphen Oppenheimer juga melakukan dan mengeklaim hal yang sama.

Imajinasi Masa Depan

Tulisan ini bukan untuk mencari kebenaran klaim itu. Tulisan ini lebih pada bagaimana agar kita kembali mengakrabi dunia sastra. Sebab kini, sastra seakan tertanggalkan hingga dongeng pun bertukar menjadi gim digital. Seperti kata Indra Tranggono, dongeng sudah nyaris tak hadir dalam kehidupan anak-anak. Kehidupan makin pragmatis-materialistis. Dunia keluarga lantas tak lagi menjadi sarang yang hangat. Anak-anak bertukar sikap menjadi makin soliter, personal, dan individual, bahkan egoistik.

Ini tak terjadi—sekurang-kurangnya dapat diminimalisasi—andai sastra hadir pada pendidikan, entah itu di rumah, terutama kalau diintegrasikan dengan sekolah. Jangan lagi khawatir pada doktrin klasik bahwa sastra adalah khayalan. Dongeng justru pekerjaan produktif dalam bentuk investasi. Harvard Business Review pernah menurunkan artikel menarik “Storytelling that Moved People” terkait kisah McKee. McKee adalah pendongeng inspiratif sehingga tak kurang anak didik yang dia dongengi telah mengoleksi 18 Academy Awards, 109 Emmy Awards, 19 Writers Guild Awards, dan 16 Directors Guild of America Awards.

Ini logis karena kata McKee, cerita (dongeng) adalah perangkat terbaik untuk merangkul orang lain dan menyentuh emosi mereka. Dengan kata lain, dengan sastralah kita bisa menyentuh dan mengolah karakter siswa. Oleh karena itu, sebagaimana dikutip Doni Koesoema yang meminjam istilah Blaise Pascal (hati memiliki akalnya sendiri), bahwa pendidikan kararker (pekerti) akan berhasil jika sudah menyentuh rasionalitas hati. Maksud saya, mari integrasikan sastra dengan pendidikan karakter karena sastra adalah imajinasi masa depan!

Sumber : https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/artikel-detail/4064/karena-sastra-juga-bisa-membangun-karakter