(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Belajar Jarak Jauh Gara-Gara Korona, Siapa Takut?

Admin disdikpora | 02 Agustus 2021 | 572 kali

Diterbitkan : 30 Juni 2021 13:19
Sumber : Sumber tulisan berdasar pengalaman saya dengan murid
Penulis : Devy Mariyatul Ystykomah
RPP Terkait : COVID-19: Manusia dan Lingkungannya
Jenjang : SD/MI
Kelas : 5
Mapel : Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

Covid-19 atau wabah korona membuat murid harus belajar di rumah. Ada yang merasa tergagap-gagap, ada pula yang biasa saja. Jangankan murid, begitu pun dengan gurunya. Mengingat sentuhan teknologi, harus digunakan, lebih dari biasanya.

Pembelajaran yang tepat mesti dilakukan. Tak hanya untuk membuat anak mengerti, tetapi juga memastikan mereka tidak bosan. Tentu bagi sebagian besar murid dan guru, pembelajaran jarak jauh adalah hal yang baru. Semuanya masih beradaptasi dan belajar

Di tempat saya mengajar di pagi hari, membiasakan pembelajaran jarak jauh adalah hal yang mudah. Murid SMK cenderung lebih tanggap dan mawas terhadap teknologi. Apalagi di SMK tempat saya mengajar, mereka sudah terbiasa melakukan pembelajaran dalam jaringan (daring/online). Setiap hari.

Berbeda halnya di tempat saya menjadi tutor bimbingan belajar, sore hari. Saya mengajar anak kelas 5 SD dari berbagai sekolah. Karakteristik dan kemampuan mereka berbeda-beda.

Ada yang terbiasa menggunakan berbagai aplikasi di telepon seluler (ponsel). Ada yang belum. Ada yang rumahnya beraliran sinyal cepat alias 4G. Ada pula yang sulit sinyal atau istilah Jawanya, ‘mendrip-mendrip’. Sulit? Mungkin iya. Tetapi untuk mengerti hal yang baru memang sudah sepatutnya dicoba. Memang tidak ada yang mudah, tapi tidak ada yang tidak mungkin, bukan?

Dengan segala keterbatasan dan kendala yang ada, saya berupaya agar pembelajaran jarak jauh harus membuat anak tetap merasa dekat dengan saya. Baik secara komunikasi maupun konten belajarnya. Tidak membebani atau malah memberatkan mereka. Melainkan membuat mereka memahami tema yang sedang dipelajari.  

Dalam proses pembelajaran jarak jauh ini, saya menawarkan kesepakatan. Yaitu, bukan lagi belajar teori. Melainkan langsung praktik yang melibatkan saya, murid, dan orangtua.

Untuk menunjang itu, saya memiliki dua grup whatsapp (WA) untuk berkomunikasi. Pertama, grup WA saya bersama orangtua dan yang kedua, grup WA saya dengan murid. Dari dua grup inilah saya berkomunikasi dengan murid dan orangtua.

Seperti yang saya pelajari di Temu Pendidik Spesial (TPS) Komunitas Guru Belajar tanggal 18 Maret 2020Dalam diskusi melalui grup telegram berjudul “Murid Belajar di Rumah, Bagaimana Guru Memandu Murid Belajar Jarak Jauh?” dengan narasumber bu Alfi Lailatin dan bu Dina Irdhina, saya memahami bagaimana saya sebagai guru harus menjadi teman belajar yang baik. Guru harus adaptif dan mengerti kondisi yang ada. Sehingga komunikasi yang baik dengan orangtua dan murid sangat diperlukan. Dalam hal ini, saya menggunakan dua grup WA ini sabagai sarana.

Di grup orangtua, kami membahas kesiapan mereka dalam proyek ini. Sedangkan di grup murid, kami membahas tentang rencana pelaksanaan serta apa saja referensi yang dibutuhkan.

Saya menyadari untuk murid kelas 5 SD, tentu masih perlu dukungan dan pendampingan orangtua. Makanya, saya sangat terbantu dengan orangtua yang peduli dan aktif dalam membersamai pembelajaran anaknya. Terutama dalam kondisi seperti sekarang.

Apalagi, tema tentang Covid-19 bukan hanya materi untuk murid. Namun bisa digunakan untuk pendidikan keluarga. Mengingat virus ini sendiri memang masih benar-benar baru dan belum banyak diketahui, baik proses penularan maupun vaksinnya.

Karena itu, dalam grup WA orangtua, selain membahas praktik ini, kami juga aktif berbagi. Termasuk berdiskusi tentang keadaan daerah masing-masing.

Seperti anjuran dalam Panduan Pembelajaran Jarak Jauh #SekolahLawanKorona yang bisa diunduh di tautan https://bit.ly/PanduanSLC5M, pengumpulan informasi tentang kesiapan orangtua merupakan salah satu prioritas. Karena jangan sampai pembelajaran yang kita lakukan justru menyulitkan. Semua harus didasarkan kondisi di lingkungan setempat.

Informasi ini sangat bermanfaat. Saya menggunakannya untuk menjabarkan kondisi di sekitar rumah mereka. Mulai dari keadaan rumahnya, jauh dekatnya dengan apotek, hingga bagaimana kesiapan mereka melakukan praktik pembelajaran jarak jauh. 

Dari percakapan itu, persiapan untuk pembelajaran esok hari sudah kami diskusikan. Sehingga saat saya memberi penugasan ke murid, sebenarnya orangtuanya sudah tahu dan siaga jika diminta bantuan oleh anaknya.

Seperti yang saya pelajari di Temu Pendidik Spesial (TPS) Komunitas Guru Belajar tanggal 18 Maret 2020Dalam diskusi melalui grup telegram berjudul “Murid Belajar di Rumah, Bagaimana Guru Memandu Murid Belajar Jarak Jauh?” dengan narasumber bu Alfi Lailatin dan bu Dina Irdhina, saya memahami bagaimana saya sebagai guru harus menjadi teman belajar yang baik. Guru harus adaptif dan mengerti kondisi sulit saat ini. Sehingga komunikasi yang baik dengan orangtua dan murid sangat diperlukan.

 

Sementara di grup WA murid, pada awal pembelajaran, saya mengajak anak-anak berdiskusi tentang ‘apa itu korona?’. Dari sana, mereka berupaya memberi jawaban dengan referensi yang mereka punya. Mayoritas dari proses googling.

‘Cengkling’…satu per satu jawaban dari mereka saya terima di WA. Tak hanya menjawab singkat, dari pertanyaan tersebut mereka malah punya banyak imajinasi tentang apa yang harus dipraktikkan. Salah satunya terkait cara pencegahan agar tidak tertular korona.  

Saya membaca dengan sangat bersemangat dan memberi umpan balik cepat. Mereka juga  mengetik jawaban dan membalas dengan sangat giat. Diskusi terasa gayeng dan penuh makna. Padahal kami tak seperti biasanya di kelas, tetapi sedang berjauhan. Saya di rumah. Mereka pun di rumah.

Dalam diskusi itu, saya juga mengirimkan komik karya Watiek Ideo yang saya screenshoot dari postingan instagram-nya @watiekideo. Anak-anak antusias. Mereka membaca 10 halaman komik, lalu membuat kesimpulan. Dari komik pendek itu mereka tahu cara menjaga diri dan orang sekitarnya agar tidak terpapar virus korona. Tambah lagi referensi mereka.

Dan hasilnya, akhirnya anak-anak dan saya memutuskan praktik pembelajaran jarak jauh ini dimulai dengan pencegahan penularan Covid-19. Saya pun memberi dua pilihan proyek untuk dikerjakan bersama orangtua.

Pilihan pertama, murid membuat karya video yang berisi cara mencuci tangan yang benar. Sebelum membuat karya ini, murid atau anak dibolehkan mencari data atau referensi. Dari sanalah mereka merumuskan cara yang akan digunakan. Sedangkan orangtuanya bertugas merekam dan mengirimkan videonya ke saya. Sementara pilihan kedua adalah video tentang cara membuat hand sanitizer. Prosesnya pun sama.

Saya sengaja memberi dua opsi praktik, yakni tentang cara mencuci tangan dan membuat hand sanitizer, karena sejumlah pertimbangan. Tidak semua rumah murid dekat dengan apotek. Begitu pun dengan fakta bahwa dengan merebaknya korona, bahan-bahan untuk membuat hand sanitizer seperti alkohol cukup sulit didapatkan. Jadi opsi membuat hand sanitizer hanya untuk mereka yang siap saja. Sementara yang kesulitan mencari bahan bisa membuat video tentang mencuci tangan.

Dengan kedua pilihan tersebut murid dapat memberikan hasil tutorial dalam bentuk video yang akan dibagikan ke saya dan whatsapp stories. Karya video inilah yang akan digunakan untuk berbagi dan mengedukasi yang lainnya.

Di luar ekspetasi saya, dengan kolaborasi yang baik, ternyata ada murid yang ingin lebih bermakna untuk sekitarnya. Ia tahu bahwa hand sanitizer langka. Makanya, bukan hanya menyelesaikan tugasnya, dia juga membuat hand sanitizer dalam jumlah banyak untuk dibagikan ke tetangga sekitar komplek rumahnya.

Sementara yang lain, ada juga yang selalu mengingatkan orangtuanya soal kebersihan dan kewaspadaan untuk mencegah penularan korona. Di antaranya untuk selalu mencuci tangan dan membuka pintu dengan siku.

Meski namanya anak-anak, saya pun mendapat cerita lucu. Ada orangtua yang berbagi bahwa anaknya mengaku kesulitan mengunci pintu. Karena seperti praktik membuka pintu, si anak berusaha mengunci pintu dengan sikunya. “Buk…Buk, gimana ini ngunci pintunya kalau pakai siku? Nggak bisa-bisa,” keluh si anak dengan wajah serius seperti yang diceritakan ibunya. Sang ibu pun tertawa mendengarnya sambil memberi pemahaman bahwa tidak semua aktivitas harus pakai siku. Yang penting, sang ibu memberi nasihat, bahwa setelah beraktivitas maka mencuci tanganlah dengan benar.  

Bukan hanya itu soal ‘siku’ itu, ada pula cerita dari salah satu ibu yang merasa dag-dig-dug karena anaknya gagal mengucap kalimat yang tepat saat mempraktikan cara membuat hand sanitizer. Akibatnya, perekaman video harus diulang dari awal sampai 4 kali.

Bukan karena capek merekam, masalahnya sang ibu merasa khawatir dengan ketersediaan bahan bakunya. “Takut alkoholnya habis,“ curhat sang ibu ke saya. Namun dari cerita si ibu pula, saya tahu bahwa anak tersebut ternyata juga melakukan refleksi dengan tepat. “Berarti aku harus lebih hati-hati dan alhamdulillah ya bu, stok hand sanitizerkita jadi banyak.” Mendapat reaksi itu, sang ibu berkata ia jadi terharu. Ternyata dari praktik membuat hand sanitizer saja, si anak bisa mengambil hikmah dari kegagalan yang dia lakukan sendiri. Saya terharu.

Dalam proses pembelajaran jarak jauh ini, saya pun bisa mengambil kesimpulan bahwa belajar memang tak mengenal tempat dan waktu. Anak-anak tetap bisa belajar di rumah dengan baik walau tak lagi bertatap muka langsung. Bahwa mereka atau kita harus sedikit kesulitan menyesuaikan diri dalam prosesnya, tentu saja. Tetapi banyak cara agar pembelajaran tetap bisa dilaksanakan.

Dengan merebaknya Covid-19, langkah antisipatif, yakni dengan ‘meliburkan’ murid akhirnya memang jadi pilihan kebijakan. Tapi apakah murid harus berhenti belajar karena mereka tak lagi berada di sekolah? Tentu tidak. Gerakan untuk terus menggaungkan semangat belajar, bukan hanya bisa terdengar di sekolah. Di tempat les, di jalanan, di mal, di rumah, bahkan di ponsel-ponsel kita, semangat itu bisa kita tularkan selalu. Salam Merdeka Belajar!

sumber : https://ayoguruberbagi.kemdikbud.go.id/artikel/belajar-jarak-jauh-gara-gara-korona-siapa-takut-1/