Dapat dipastikan, tidak ada satu orangtua pun di dunia ini yang secara sengaja menjajah kemerdekaan anak-anaknya. Sekalipun ada, nyaris tidak diakuinnya. Bahkan bisa-bisa protes bila dituduh melakukan penjajahan.
Setiap orangtua pada hakikatnya mendambakan masa depan yang cemerlang bagi anak-anaknya. Untuk mewujudkan hal ini, orang tua memiliki peran untuk memberikan bimbingan, pengarahan, pengajaran, dan pembinaan dengan berbagai cara. Cara-cara yang dimaksud ini adalah adanya larangan dan perintah. Kedua hal ini yang layaknya bagaikan rumusan baku yang harus diterima oleh anak-anaknya, tanpa menerima negosiasi atau pun kompromi.
Melarang atau memerintah anak-anak balita sudah tentu berbeda cara dengan melarang ank-anak remaja. Sebab, baik melarang maupun atau memerintah secara tidak langsung merupakan salah satu bagian proses pendidikan, apabila sesuai dengan tujuan yang semestinya. Hanya saja anak yang dilarang, akan menjadi pribadi yang penuh keraguan dalam mengembangkan kreativitasnya. Begitu pun sebaliknya, semakin anak-anak diperintah, akan mengembangkan anak-anak berjiwa pengekor, karena merasa tidak memiliki kebebasan untuk memerdekaan dirinya dalam menentukan sikap. Mendidik anak dengan serangkain aturan yang ketat tidak selamanya menguntungkan. Demikian juga tanpa aturan, akan menjadikan anak liar seperti tumbuhan yang bebas mejalar. Untuk itu, yang menjadi PR para orangtua adalah bagaimana mengembangkan arah anak-anak yang ideal sesuai dengan arah pendidikan pada umumnya.
Antara Melarang dan Membiarkan
Orangtua yang ingin mencurahkan kasih sayang terhadap anak-anaknya tidak harus mencium pipi setiap hari. Hadiah ulang tahun tidak harus selalu memberikan hadiah yang mahal. Tidak juga kasih sayang orangtua juga harus selalu dicurahkan dengan kemewahan ataupun kemegahan.
Demikian pula bukan berarti orangtua harus benci kepada anak-anaknya, jika anak merengek ingin ini dan ingin itu. Orangtua tidak perlu menunjukan ekspresi cemberut dan masam pada anak saat anaknya cerewet di tengah acara tertentu. Dan orangtua tidak perlu marah jika anaknya bermain dan membuat berantakan isi rumah. Dua hal ini barangkali memihak anak-anak dan orangtua hanya dijadkan sebagai tertuduh.
Arah ideal yang dimaksud sebelumnya adalah ingin me-recall kembali ingatan orangtua terhadap rumusan pendidikan yang baik di lingkungan keluarga. Jika hal ini mampu terjaga dengan baik,bisa diharapkan kewenangan orangtua terhadap anak dan kemerdekaan anak-anak terhadap dirinya, tanpa mengundang kesenjangan. Maimunah Hasan dalam buku Pendidikan Anak Usia Dini menyebutkan bahwa kesenjangan orangtua terhadap anaknya dalam bentuk apapun merupakan situasi yang tidak menguntungkan, karena tidak sesuai dengan asas-asas pendidikan.
Sebab dari kesenjangan akan muncul garis jarak yang tidak sehat, sehingga berakibat munculnya otoritas orangtua dan anak bisanya berada pada pihak tertekan. Dampak yang lebih parah lagi anak terjajah kemerdekaannya yang pada akhirnya segala kreativitasnya menjadi tumpul. Sebaliknya, longgarnya orangtua terhadap anak-anaknya akan berakibat pada terciptanya pribadi anak yang sembrono. Untuk itulah, kapan orangtua menunjukkan kekerasannya, harus terjaga dengan batas-batas yang semestinya. Kapan orang tua menampilkan kelemahannya bukan berarti mengorbankan nilai-nilai kebenaran. Kesantunan bukan diartikan sebagai sikap orangtua yang berlebih-lebihan dalam mengumbar kemauan anak-anaknya.
Di sini orangtua memang selayaknya tahu kapan saatnya anak-anak harus dilarang dan kapan anak-anak mendapat kebebasan. Kemerdekaan bermain, berlari, memanjat pohon, melempar, dan sebagainya bahkan kemerdekaan menangis merupakan cara penumpahan miliknya yang ideal, sepanjang tidak berlebihan. Sehingga orangtua harus jeli dan wasapada serta tanggap terhadap perkembangan kejiwaan anak-anaknya. Saat orangtua telah mampu memainkan prinsip-prinsip tersebut, maka akan muncul garis tegas antara melarang dan membiarkan. Secara demikian, tidak akan lagi terjadi satu kecerobohan orangtua saat membiarkan tapi melarang, sebaliknya saat melarang padahal realitanya membiarkan. (Mukhamad Hamid Samiaji – Pegiat Literasi di Rumah Kreatif Wadas Kelir Purwokerto) .
Sumber: https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=249900684