PAUDPEDIA Jakarta Di tengah riuh rendah berita ekonomi, sosial dan politik nasional, terdapat satu suara yang terus-menerus terpinggirkan,
yaitu suara hening dari 1,9 juta penyandang tuli di Indonesia yang sebagian besar masih berusia dini dan berada di jenjang PAUD.
Suara ini sejatinya tak butuh pengeras, melainkan pengakuan dan akses pada Bahasa Isyarat yang setara dan dijamin negara. Ironisnya, untuk
melayani jutaan warga tuli tersebut, Indonesia negara dengan hampir 300 juta penduduk baru memiliki sekitar 500 Juru Bahasa Isyarat (JB)
bersertifikat.
Rasio yang timpang ini menciptakan gambaran yang memilukan. Jika mengacu pada standar ideal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang
menyarankan satu JBI untuk setiap 100 orang tuli, maka satu JBI di Indonesia hari ini harus “melayani hingga 3.840 orang. Sebuah beban yang
mustahil dipikul, sebuah tantangan komunikasi yang terasa seperti teka-teki tanpa kunci.
Fondasi Inklusi Dimulai dari PAUD |
Mengatasi krisis komunikasi ini membutuhkan solusi yang tidak hanya reaktif, tetapi juga proaktif dan jangka panjang. Salah satu kunci utamanya
adalah menanamkan inklusi sejak usia dini, khususnya di jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Pakar pendidikan menekankan bahwa memperkenalkan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) sejak dini, bahkan kepada anak-anak dengar.
adalah langkah revolusioner. Bahasa isyarat bukan hanya alat komunikasi untuk teman tuli, tetapi juga sarana peningkatan kognitif dan
keterampilan motorik bagi semua anak.
Dengan memasukkan bahasa isyarat dalam kurikulum PAUD, kita tidak hanya menyiapkan anak tuli untuk berhasil dalam pendidikan, tetapi juga
mendidik generasi dengar yang berempati, inklusif, dan mampu berkomunikasi tanpa batas.
Bayangkan jika setiap anak Indonesia sejak usia lima tahun sudah familiar dengan isyarat dasar. tembok komunikasi yang membatasi Andini dan
jutaan teman tuli lainnya akan perlahan runtuh, digantikan oleh jembatan pemahaman. Inilah investasi kemanusiaan yang paling mendasar.
Kisah Andini dan Tembok Komunikasi
Kondisi ini bukan sekadar statistik di atas kertas, tetapi realitas getir yang dialami langsung oleh warga seperti Andini (24), seorang penyandang
tuli di Sidoarjo.
Ketika Andini berurusan dengan kantor kelurahan untuk mengurus administrasi, ia harus menempuh cara komunikasi yang melelahkan: menulis di
kertas, menunjukkan layar ponsel, dan berhadapan dengan petugas yang hanya membalas dengan senyum kikuk.
"Saya merasa seperti orang asing di negeri sendiri," tulis Andini melalui aplikasi pesan singkat, merangkum frustrasi yang dalam.
Di layanan publik vital lain seperti rumah Saki, situasinya tak jauh berbeda. Banyak penyandang tuli kerap merasa diperlakukan sebagai 'pasien
kelas dua."
Dokter dan perawat seringkali hanya menerka-nerka, atau sekadar menunjuk. mengubah layanan kesehatan menjadi sesi tebak-tebakan
berhadiah. Situasi ini menegaskan bahwa tanpa kehadiran JBI yang kompeten. hak dasar untuk mendapatkan layanan publik yang setara seolah
menguap begitu saja.
Kemenko PMK dan Kemendikdasmen
Baru-baru ini, sebuah pertemuan tingkat tinggi antara Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Keluarga dan Kependudukan Kemenko
PMK, Woro Srihastuti Sulistyaningrum (Deputi Lisa). dan Dirjen Pendidikan Vokasi. Pendidikan Khusus, serta Pendidikan Layanan Khusus
Kemendikdasmen, Tatang Muttagin, seolah menjadi titik terang.
Pemerintah "tersadar" bahwa bahasa isyarat bukan sekadar gerakan tangan. melainkan identitas budaya komunitas tuli. |
"Bahasa isyarat adalah hak komunikasi yang dijamin undang-undang, sekaligus bagian dari identitas budaya teman-teman tuli. Negara harus hadir
untuk menjamin hak ini," ujar Deputi Lisa penuh semangat, menunjukkan komitmen dari tingkat kebijakan.
Komitmen ini disambut baik oleh Dirjen Tatang Muttagin yang menyatakan, "Kami menyambut baik upaya Kemenko PMK untuk bergerak menuju
Selaras Bahasa Isyarat. Mari kita berjalan bersama."
Pertemuan para pejabat tinggi ini setidaknya berhasil mengidentifikasi akar masalah yang selama ini membelenggu: guru di sekolah yang belum
mahir bahasa isyarat, minimnya akses JBI di ruang publik, standar bahasa isyarat nasional yang belum jelas, hingga honor JBI yang masih minim.
Di balik fakta yang pahit, solusi yang ditawarkan pemerintah kini mulai dirumuskan dengan optimis: percepatan sertifikasi JBI, peningkatan
kapasitas guru, hingga penyusunan regulasi baru untuk menjamin hak komunikasi. Program "Selaras Bahasa Isyarat" yang digagas Deputi Lisa
dipandang sebagai lebih dari sekadar proyek.
"Selaras Bahasa Isyarat bukan hanya proyek, tapi sebuah gerakan untuk memastikan tidak ada lagi hambatan komunikasi bagi saudara-saudara
Kita tuli," tegas Deputi Lisa.
Meskipun komunitas tuli dan publik masih menyimpan keraguan mengingat banyak janji manis program pemerintah yang sering berhenti di level
soft launching, upaya bersama ini patut didukung.
Ini adalah momentum untuk mengubah sindiran getir dari komunitas tuli bahwa "pemerintah memang bisa mendengar. tapi tidak pernah benar
benar mendengarkan" - menjadi kenyataan inklusif di mana setiap warga negara, tanpa terkecuali, mendapatkan hak komunikasi yang setara dan
bermartabat.
Jalan menuju inklusi total memang masih panjang, namun setiap langkah yang diambil untuk mempercepat sertifikasi JBI dan mengintegrasikan
Bahasa Isyarat ke dalam layanan publik, mulai dari ruang kelas PAUD hingga kantor kelurahan, adalah langkah nyata menuju Indonesia yang
benar-benar mendengarkan seluruh warganya.
sumber : https://paudpedia.kemendikdasmen.go.id/galeri-ceria/ruang-artikel/indonesia-hanya-punya-500-juru-bahasa-isyarat-bukan-sekadar-gerakan-tangan-tapi-kunci-kemandirian-wajib-diajarkan-di-jenjang-paud?ref=MjYyNS01ZWRkNzJhMA&ix=NDctNGJkMWM0YjQ