(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Ada Apa sih Dengan Otak Remaja?

Admin disdikpora | 16 April 2018 | 1485 kali

Masa remaja adalah masa yang galau, labil ataupun alay. Menghadapi anak remaja itu, orang tua perlu mengenali dan memahami perkembangan psikologis dan juga perkembangan otak saat remaja. Pasalnya, di dalam otak dan kepala para remaja ini, ada beberapa perubahan yang perlu diperhatikan.

Perubahan-perubahan ini dapat menjelaskan perilaku remaja yang acapkali penuh drama, tak rasional dan agresif tanpa alasan yang jelas. Namun, di sisi lain, para remaja juga memiliki kebutuhan yang besar akan kebebasan dan kasih sayang.

Seperti dilansir LiveScience,  adalah 10 perubahan yang terjadi pada otak para remaja:

  1. Otak remaja sedang dalam tahap perkembangan

Pada rentang usia antara 11 - 19 tahun, dianggap sebagai masa kritis pembangunan. Ketika melalui masa pertumbuhan ini, ketrampilan kognitif dan kemampuan baru akan muncul. Meskipun fisiknya tumbuh besar, remaja masih berada dalam masa perkembangan yang akan mempengaruhi kehidupannya selanjutnya.

  1. Otak Mulai Mekar

Pada bayi, otak mengalami pertumbuhan koneksi yang amat besar. Namun ketika memasuki usia 3 tahun, beberapa sambungan tersebut kemudian dipangkas agar lebih lebih efisien. Ledakan pertumbuhan saraf terjadi untuk kedua kalinya tepat menjelang pubertas. Puncaknya adalah saat usia sekitar 11 tahun untuk anak perempuan dan 12 tahun untuk anak laki-laki.

  1. Memiliki Kemampuan Berpikir yang Baru

Remaja mulai memiliki kemampuan komputasi dan belajar mengambil keputusan. Sayangnya, remaja masih terlalu dipengaruhi oleh emosi karena otaknya lebih mengandalkan sistem limbik yang mengedepankan emosi ketimbang korteks prefrontal yang mengolah informasi secara rasional.

  1. Rewel Kepada Orangtua

Remaja berada di tengah kesenangan memperoleh keterampilan baru yang luar biasa, terutama yang berkaitan dengan perilaku sosial dan pemikiran abstrak. Tapi karena belum pandai menggunakan, remaja harus melakukan percobaan. Terkadang orangtuanya sendiri dijadikan sebagai kelinci percobaan. Banyak remaja melihat konflik sebagai sarana untuk mengekspresikan diri dan mengalami kesulitan untuk berfokus pada hal-hal abstrak atau memahami sudut pandang orang lain.

  1. Sangat Memperhatikan Kata Teman

Karena remaja mulai mampu berpikir abstrak, kecemasan sosialnya pun meningkat, sehingga remaja memperhatikan bagaimanakah dirinya dilihat oleh orang lain.

  1. Tak Pandai Mengukur Risiko

Kewaspadaan remaja bisa dibilang lambat bergarak karena dominasi sistem limbik yang mengedepankan emosi. Akibatnya remaja memiliki toleransi risiko yang lebih tinggi dibanding orang dewasa, sehingga remaja rentan terlibat perilaku berisiko seperti mencoba narkoba, terlibat perkelahian atau perilaku lain yang tidak aman.

  1. Membutuhkan Figur Orangtua

Remaja masih membutuhkan orangtuanya untuk mempelajari bagaimanakah hidup mandiri dan menyiapkan diri untuk membentuk rumah tangganya sendiri.

  1. Butuh Tidur Lebih Banyak

Mitosnya adalah remaja lebih banyak membutuhkan waktu tidur ketimbang saat masih kanak-kanak. Namun sebenarnya kebanyakan masalah tidur yang dialami remaja adalah pergeseran ritme sirkadian selama masa remaja. Remaja cenderung bangun siang namun terjaga sampai larut malam.

  1. Narsis

Perubahan hormon saat pubertas berdampak besar bagi otak, salah satunya adalah memacu reseptor oksitosin diproduksi lebih banyak. Oksitosin meningkatkan kepekaan sistem limbik dan berkaitan dengan perasaan kesadaran diri, sehingga membuat remaja merasa seolah-olah ada orang yang mengawasi. Hal ini mungkin membuat remaja jadi tampak egois. Di sisi lain, perubahan hormon dalam otak remaja ini juga dapat membuat remaja menjadi lebih idealis. (Yanuar Jatnika/Andyda Meilala)