Kebijakan sistem zonasi pada proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang baru saja di berlakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui permendikbud nomor 17 tahun 2017 menuai polemik berbagai pihak. Pemberlakuan kebijakan sistem zonasi melalui tes seleksi penerimaan siswa baru berdasarkan zona area tempat tinggal, usia peserta didik, hasil nilai ujian, dan prestasi akademik dan non akademik dipercaya belum disertai oleh kesiapan sumberdaya sekolah di daerah pinggiran sehingga menuai pro dan kontra masyarakat.
Sebenarnya kebijakan sistem zonasi ini bukan merupakan hal baru yang diterapkan oleh sistem pendidikan di negara lain. Sistem penerimaan siswa baru berdasarkan zona tempat tinggal sudah dilaksanakan oleh beberapa negara lain seperti Inggris, Amerika, Australia, Finlandia, Canada, Jepang, dan negara-negara maju lainnya. Sistem zonasi ini bertujuan untuk memberikan pemerataan pendidikan kepada seluruh masyarakat hingga di remote area. Selain itu, sistem ini memberikan kemudahan bagi pihak sekolah untuk memastikan bahwa seluruh anak usia sekolah di area tersebut terdaftar di sekolah.
Serupa dengan tujuan sistem zonasi di negara luar, sejatinya sistem zonasi pada PPDB bertujuan untuk melakukan pemerataan kualitas sumberdaya manusia di berbagai area di Indonesia. Kebijakan ini membuka kesempatan yang luas bagi tercapainya keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Sistem zonasi ini bertujuan untuk mempersiapkan seluruh generasi bangsa Indonesia untuk mengenyam pendidikan yang layak demi adanya perubahan positif bagi bangsa ini dalam jangka panjang.
Penerapan sistem pendidikan berdasarkan zonasi juga dipercaya dapat menyediakan ruang pengawasan yang lebih baik bagi para orang tua terhadap anaknya. Orang tua dapat dengan mudah memberikan pengawasan pasca kegiatan belajar mengajar di sekolah selesai. Sehingga harapannya, dengan adanya pengawasan yang komprehensif dari guru di sekolah dan orang tua di rumah, berbagai kasus kekerasan terhadap anak, kenakalan remaja, narkoba, pergaulan bebas, pornografi, hingga doktrinasi radikalisme yang terjadi akibat peralihan waktu pengawasan oleh sekolah ke keluarga yang terkadang tidak sinkron dapat diminimalisasi. (Yulina Eva Riany, Dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Institut Pertanian Bogor).