(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Anak Bermain Gawai: Tak Cukup Melarang Saja

Admin disdikpora | 18 Januari 2018 | 562 kali

Siang itu Raka duduk bersimpuh, matanya sembab dan suaranya serak. Beberapa jam sudah dia menangis. Orang tuanya bergeming dan tak menghiraukan.

Raka sedih karena orang tuanya memutus koneksi internet di rumah. Padahal internet menjadi sarana hiburannya. Bocah 9 tahun itu tak terlalu suka nonton televisi, main mobil-mobilan, robot-robotan atau apapun. Melainkan lebih nyaman di dunianya, dunia peselancar.

Waktu Raka dalam sehari nyaris habis untuk memegang gawai. Beberapa game online dia mainkan berikut tutorial yang ada di YouTube.

Begitulah, Raka, si generasi milenial. Ketika hiburan yang dianggap remeh temeh oleh sebagian orang dibatasi sampai tidak bisa mengakses, seolah dunianya runtuh. Dia pun terduduk diam di sudut rumah, air matanya masih mengalir dan suara isaknya masih terdengar. Hukuman tujuh hari tanpa koneksi internet benar-benar membuatnya seperti kehilangan segalanya.

”Raka dari pulang sekolah sampai tidur tangannya selalu pegang handphone. Tidurnya bisa jam 1 atau 2 dinihari. Bangun paginya susah,” ungkap sang bunda.

Cerita seperti Raka terjadi di banyak tempat. Mereka menganggap internet sebagai dunianya. Ketika akses ke dunia maya itu ditutup maka runtuh pula hidup mereka.

Pemilik Microsoft, Bill Gates, sangat tegas kepada anak-anaknya dalam penggunaan gawai. Dikutip dari theasianparent.com, dia melarang anak-anaknya memegang ponsel pada saat makan.

”Kami juga tidak memberi anak-anak kami ponsel sebelum usianya 14 tahun. Mereka mengeluh teman-temannya telah memiliki ponsel sebelum berusia 14 tahun,” ungkap Gates.

Alasan Gates ini cukup kuat. Google dan facebook pun punya batasan usia minimal 13 tahun untuk bisa memiliki akun. Itupun dilengkapi fitur pengaturan yang bisa diterapkan orang tua untuk memberi batasan akses kepada anak-anaknya.

Dalam kasus Raka, dia memainkan game yang seharusnya tidak boleh dimainkan anak seusianya karena pengaruh lingkungan atau teman-temannya di sekolah. Apalagi orang tuanya juga membuka pintu akses untuk memainkan, meski alasannya karena terpaksa.

”Raka marah-marah karena ayahnya tidak mengizinkan dia meng-install salah satu game di ponsel. Semua barang dia lempar,” ungkap ibundanya.

Sitausi serupa terjadi kepada Rizal yang berjarak 3.000 Km dari tempat tinggal Raka. Bocah 6 tahun itu merengek kepada orang tuanya setelah melihat kakaknya yang telah dewasa memainkan game online. Namun orang tuanya secara tegas tak mengizinkan.

Raka dan Rizal mendapat batasan yang sama dari orang tua masing-masing. Meski itu bukan jaminan mereka tidak melanggar larangan orang tuanya ketika berada di luar rumah. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk bisa memainkan game kesukaan mereka.     

Untuk itulah, orang tua tidak cukup hanya melarang. Yang dibutuhkan adalah peran aktif orang tua untuk melakukan pendampingan dan memberikan penjelasan serta pengertian kepada anak-anaknya. Salah satu di antaranya adalah alasan mengapa mereka tidak boleh mengakses atau memainkan beragam game dan aplikasi berkategori di luar batasan usianya. (Banimal)