(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Anak Berontak? Sentuhlah Hatinya

Admin disdikpora | 15 November 2018 | 824 kali

 Ketika ditegur karena tidur, Andi berkata kepada gurunya, ”Pelajaran ini membosankan, daripada ribut lebih baik tidur, bukan?” Jawaban nyelenehmembuat guru ini begitu emosi dan mengusirnya ke luar kelas.

Kisah ini tidak selesai sampai di situ. Guru tersebut mengingatkan semua anak di kelas untuk sopan ketika berbicara karena guru harus dihormati dan nilai ada di tangan guru. Ia kemudian melanjutkan, akan memberi anak itu nilai sikap D supaya tinggal kelas.

Beberapa anak yang mendengarnya menjadi ketakutan. Akan tetapi ada juga yang memberi tanggapan. Sahabat dekat Andi yang bernama Budi bertanya, ”Pak, kenapa guru suka mengancam dengan nilai?”

Tentu saja sang guru murka dan mengusir Budi dari kelas. Skenario berlanjut ketika si bapak guru menceritakan kisah ini kepada hampir semua rekan kerja yang disambut dengan rasa empati yang besar sambil mengelus dada dan berkata, ”Anak zaman sekarang kurang ajar dan tidak punya sopan santun”. Maka tidak heran kalau hampir setiap guru yang masuk ke kelas pada hari itu menyindir tentang masalah yang terjadi di kelas.

Bukankah kisah ini akrab di telinga kita? Tidak jarang siswa sering sekali dituntut untuk inisiatif menghormati dan bertutur kata santun kepada gurunya. Siswa dituntut meminta maaf tanpa melihat kasus secara utuh. Sebagai guru, kita sering marah ketika merasa direndahkan namun gagal melihat akar dari permasalahan.

Sebagai contoh, kita memarahi siswa karena ribut di dalam kelas. Namun kita lupa mengevaluasi cara mengajar dan materi yang sedang kita ajarkan kepada siswa. Kita juga sering lupa teladan yang baik tapi menuntut lebih untuk dihormati.

Maka tidak heran ketika ada siswa yang menyapa dan mencium tangan guru setiap pagi adalah siswa yang menonton film porno di malam hari. Siswa yang paling santun di kelas ternyata adalah siswa yang suka mencontek dan suka mencuri.

Mengapa terjadi demikian? Karena kita sering melihat dan menilai seseorang secara utuh hanya dari penampilan luar. Apakah generasi yang ingin kita hasilkan adalah generasi munafik, bukan kritis?

Kembali ke kasus Budi dan Andi. Situasi yang terjadi akan berbeda seandainya saja guru menjawab Andi dengan kata-kata ini, ”Andi, solusi yang kamu buat untuk mengatasi kebosananmu tidak benar, bangun dan cuci wajahmu.”

Jawaban ini menunjukkan ketegasan guru sekaligus solusi. Pertama, si guru sedang mengatakan ribut dan tidur adalah solusi yang salah untuk mengatasi kebosanan. Kedua, guru tidak menyakiti hati siswa tersebut sehingga ia punya peluang yang sangat besar untuk berbicara secara pribadi dengan Andi setelah pelajaran usai dan tentu saja masalah dengan teman baik Andi, Budi, tidak akan ada. 

Ketika nasi telah menjadi bubur tetap ada rekonsiliasi bisa dilakukan. Kita tidak perlu menuntut maaf dari anak remaja yang membedakan yang benar dan salah pun tidak begitu mampu. Kita harus hadir sebagai orangtua yang bijaksana yang mengingatkan, menegur, dan memperbaiki kelakuan mereka. Mengutip perkataan Mahatma Gandhi, salah satu penerima Nobel Perdamaian, ”In a gentle way, you can shake the world” (di dalam kelembutan, kamu dapat mengguncang dunia. (J. Ernawanti Tampubolon - Pekanbaru. Foto : Fuji Rachman)