Anak itu ibarat patung lilin yang masih lentur sekali yang kalau jatuh gampang penyok-penyok. Kalau tidak segera diperbaiki, maka si anak akan penyok terus. Demikian dikatakan psikolog dan pemerhati anak, Seto Mulyadi.
Hal itu diutarakan psikolog yang akrab dipanggil Kak Seto itu mengenai upaya menangani anak-anak yang jadi korban bencana alam. Menurut Kak Seto, anak-anak korban bencana jangan terlambat ditangani dan harus diperhatikan secepatnya karena mereka yang paling terguncang jiwanya. “Mereka harus dikembalikan pada dunianya yaitu dunia bermain. Bangkitkan kembali semangat mereka agar membuat mereka tahan banting, berani menghadapi kenyataan dan segera beradaptasi di lingkungan yang baru, “kata pencipta boneka Si Komo ini di Jakarta, 17 Oktober kemarin, saat peluncuran Gerakan SENSASI atau Sejuta Anak Indonesia Terproteksi yang digagas Dompet Dhuafa.
Upaya membawa anak-anak korban bencana agar kembali ke dunia bermain itu, menurutnya, juga harus dilakukan dengan cara bermain, bernyanyi, melompat-lompat, baca puisi, mencipta lagu, dan mendongeng.
Karena itu, siapapun yang jadi sukarelawan atau pendamping anak-anak korban bencana, harus kreatif, baik melalui lagu-lagu, puisi, menari, mendongeng, main sulap dan sebagainya.
Seiring dengan upaya itu, para orangtuanya juga perlu dilatih dan dididik untuk lebih tenang, lebih sabar dan kreatif. “ Itu sebenarnya bukan hanya untuk orangtua tapi untuk seluruh orang dewasa yang ada di pengungsian sebagai upaya pemenuhan hak anak, “kata Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) yang selalu terjun langsung menangangi anak-anak korban bencana alam sejak di Aceh, Nias, Yogyakarta, Lombok dan sekarang di Sulawesi Tengah.
Ditegaskan Kak Seto, upaya melindungi anak agar aman dan nyaman itu perlu orang sekampung. Hal itu mengingat ada banyak anak yang juga kehilangan keluarganya. “Nah, pada anak itu, tetangga kiri dan kanan, dan orang-orang di sekitarnya wajib mengayomi, dan melindungi anak-anak tersebut agar pulih dan kembali ceria, “paparnya.
Apalagi, Kak Seto mengingatkan, dalam kondisi di pengungsian yang serba tidak pasti dan tidak teratur itu, rentan terjadi tindak penculikan, kekerasan, eksploitasi seks dan perdagangan anak.
Diakuinya, proses pemulihan kondisi kejiwaan anak itu tergantung juga pada tipe kepribadian si anak yang artinya tergantung pada pola asuh yang diterapkan orangtuanya. “Juga tak bisa kita abaikan faktor bawaan, ada yang mudah frustrasi, atau sebaliknya tahan banting. Juga tergantung pada pengalaman mereka saat bencana itu terjadi, tentunya anak yang mengalami terseret tsunami atau tertimpa bangunan akan beda kondisi kejiwaannya dengan anak yang tidak mengalaminya, yang terakhir, tergantung pada treatment psikologis yang diterapkan, “jelas pria kelahiran tahun 1951 itu.
Semua proses pemulihan jiwa anak itu, diketakan Kak Seto, mengacu pada apa yang namanya belajar sosial, Maksudnya, si anak bisa melihat teman-teman di sekelilingnya yang sama-sama senasib. Jadi, diantara anak-anak senasib itu saling belajar dan saling memberikan dukungan. “Itu sebenarnya yang kami terapkan melalui terapi bermain, bernyanyi, mendongeng, dan lain-lainnya itu, “katanya.
Kak Seto juga mengingatkan media untuk tidak sembarangan bertanya pada si anak tentang pengalamannya di saat bencana datang. Bila si anak kondisi kejiwaannya belum pulih, mengenang pengalamannya di saat bencana datang akan membuat kondisi kejiwaannya sulit untuk pulih.
Kak Seto meminta pemerintah membentuk tim kordinator para relawan agar saling berkoordinasi menangani anak korban bencana. Hal itu diperlukan agar para sukarelawan yang datang dari berbagai organisasi yang berbeda itu membawa teori masing-masing yang mungkin sebetulnya tidak cocok dengan kondisi sosial di daerah bencana itu. “Perlu ada panduan yang diterbitkan pemerintah, “ujarnya.
Imam Rulyawan, Direktur Utama Dompet Dhuafa Filantropi, mengatakan, apa yang dilakukan Kak Seto itu merupakan bagian dari apa yang namanya mitigasi bencana dengan sasaran khusus anak-anak korban bencana alam.
"Dompet Dhuafa sendiri memiliki program Psychological First Aid (PFA), semacam konseling dan pemulihan trauma ke para korban," katanya. Yanuar Jatnika