(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Anak Suputra, Pola Asuh Cara Umat Hindu

Admin disdikpora | 17 Januari 2019 | 10130 kali

Semua agama dipastikan mempunyai tujuan yang sama dalam mengasuh dan mendidik anak. Secara garis besar membentuk anak yang cerdas, pintar dan berkarakter. Namun, tujuan yang sama itu dijabarkan dalam ajaran, konsep, dan praktik atau istilah yang agak berbeda, di samping juga ada yang sama.

Mengenali ajaran, konsep, dan praktik pengasuhan masing-masing agama diharapkan akam membawa kita untuk toleran dalam bergaul dengan semua umat beragama. Misalnya dalam agama Hindu, saat sepasang umat Hindu menikah, maka yang mereka dambakan adalah lahirnya putra-putri yang disebut anak suputra, yakni anak yang berbudi pekerti luhur, cerdas, bijaksana, dan  membanggakan keluarga. Anak suputra ini yang akan mengangkat harkat dan martabat kedua orang tuanya.

Bagaimana pola asuhnya untuk menciptakan anak suputra itu?

Kitab Nitisastra yang merupakan rujukan utama umat Hindu selain Kitab Veda, mengajarkan banyak hal bagaimana seharusnya mengasuh anak agar kelak bisa menjadi anak suputra. 

Nitisastra Sloka 3.18 menyebutkan: laalayet panca varsani, dasa varsani taadyet, praapte to sodase varse, putram mitravadaacaret. Asuhlah anak dengan memanjakannya sampai berumuh lima tahun, berikanlah hukuman (maksudnya pendidikan disiplin) selama sepuluh tahun berikutnya. Kalau ia sudah dewasa (maksudnya sejak remaja) didiklah dia sebagai teman.

Sedangkan dalam literatur Hindu yang dimuat di lontar Semara Reka dan Angastya Prana, disebutkan, untuk dapat mendidik anak agar menjadi seorang yang suputra, maka terlebih dahulu orangtualah yang harus merubah dirinya menjadi orangtua yang baik. Hal itu ditandai dengan adanya upacara pernikahan yang merupakan tanda bahwa pasangan yang menikah telah disucikan.

Ibaratnya, ketika kita menanam benih, maka benih dan ladang harus dibersihkan dan disucikan terlebih dahulu untuk mendapat hasil yang baik.

Ketika si wanita mengandung, maka ia dan suaminya  sesungguhnya sedang beryoga, yakni mengekang dan menghindari segala sesuatu yang tidak baik serta pembenahan pola pikir. Wanita hamil juga diharuskan terhindar dari perasaan yang kuat, misalnya terlalu marah, terlalu sedih, atau terlalu bergembira.

Bagi sang suami, masa-masa ngidam istrinya merupakan sebuah ujian. Saat itu si calon bayi sedang menguji keteguhan sang calon ayah untuk membuktikan bahwa dia adalah seorang yang pantas dan bertanggung jawab untuk dijadikan orangtua. Jika sampai ada calon ayah yang mengabaikan istri pada saat hamil, maka akan lahir seorang anak yang berani kepada orangtua.

Pada lontar Semara Reka dan Angastya Prana  itu juga disebutkan, saat anak memasuki usia remaja, orangtua harus menerapkan ajaran Catur Naya Sandhi, yaitu sama, beda, dhana, dan danda. Artinya, kapan orangtua harus berposisi sama dan sejajar dengan anak (sama), kapan harus memposisikan diri berbeda dengan anak yaitu sebagai seorang guru dan pendidik sekaligus pengawas (beda), kapan harus memberikan hadiah kepada anak sebagai motivasi bagi si anak (dhana) dan kapan saatnya  memberikan hukuman 0(danda). (Yanuar Jatnika/Sumber: tulisan Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda  di Majalah Hindu Raditya, Edisi 239, Juni 2017, Foto : doripos.com)