Ketika mendidik dan mengasuh anak-anak, kita seringkali melakukan cara-cara yang kurang tepat. Sadar atau tidak, saat melihat anak-anak membuat kesalahan orangtua sering mengungkapkan ketidaksetujuannya melalui kemarahan.
Ayah-Bunda, jika kita menjumpai tingkah anak yang mengamuk dan menunjukkan emosi yang berlebihan, dengan berteriak maupun bertindak berlebihan, tidak perlu memberi cubitan, memukul, atau mengeluarkan kata-kata bernada kemarahan. Alih-alih berhenti menangis jika dicubit, tangis anak malah semakin menjadi.
Anak usia dini sesungguhnya masih belum memahami hubungan antara tindakannya yang ’nakal’ menurut orangtua dan pukulan yang diterimanya. Badan mungilnya hanya merasakan sakit jika dicubit dan hatinya menjadi takut ketika dibentak, tanpa tahu kenapa dipukul. Hal ini tentu akan melukai perasaannya. Akibatnya akan menghambat perkembangan sosial emosional anak.
Mendidik dan mengasuh dengan mengedepankan emosi membuat jiwa anak menjadi tidak stabil.
Emosi yang sering ditampakkan orangtua juga dapat berdampak negatif bagi perkembangan sosial emosional anak. Sehingga, anak berpotensi untuk menjadi tidak terkendali ketika berada di luar rumah atau sebaliknya anak dapat memiliki karakter tertutup.
Untuk itu orangtua harus dapat menempatkan pada posisi yang tepat ketika memarahi anak. Sikap bijaksana harus diambil untuk menghindarkan anak dari korban emosi orangtua. Marahlah dengan kasih sayang, yaitu dengan mengambil hati anak, tidak dengan menekan dan emosi berlebihan, apalagi dengan fisik.
Lantas, bagaimanakah cara marah dengan kasih sayang yang dapat kita terapkan ketika menghadapi anak yang mengamuk?
Pertama, sadari bahwa anak adalah amanat Tuhan yang harus kita jaga. Betapa menyedihkan jika anak yang seharusnya mendapat kasih sayang, tapi justru mendapat tindakan kekerasaan dari orangtua, sengaja maupun tidak sengaja.
Kedua, pahami lebih dalam bahwa anak memang selalu melakukan tindakan selayaknya seorang anak yang merepotkan orangtua. Jika orangtua emosi dan melampiaskan dengan kemarahan yang berlebihan, anak yang menanggung akibatnya. Mereka menjadi penakut, hilang rasa percaya dirinya. Bahkan sebaliknya, anak dapat menjadi seorang yang tak terkendali dan agresif.
Ketiga, tindakan marah orangtua dalam rangka memberikan efek jera pada kesalahan yang diperbuat anak harus dalam kondisi bahwa kesalahan yang dilakukannya memang pantas untuk dimarahi. Namun rambu-rambu harus tetap dipegang. Hindari pukulan fisik dan kata-kata yang menyudutkan.
Mencampuradukkan kesalahan kecil dan kesalahan besar yang dilakukan anak tidak boleh dilakukan. Ketika anak melakukan kesalahan kecil orangtua marah-marah, namun ketika melakukan kesalahan besar orangtua diam. Atau sebaliknya ketika anak melakukan kesalahan kecil ataupun kesalahan besar orangtua tetap memberi hukuman berat. Hal ini berdampak kebingungan anak dalam memahami benar dan salah.
Keempat, tidak tergesa-gesa memarahi apalagi memberi hukuman. Tanyakan dengan bahasa yang lembut mengapa anak melakukan kesalahan. Biarkan ia menikmati kehidupan usianya. Kita sebagai orang tua sebaiknya tidak terlalu menuntut anak untuk mengubah tingkah laku sesuai keinginan kita.
Kesabaran orangtua sangat dibutuhkan dalam menghadapi tingkah anak. Mereka hanya anak-anak yang perlu proses dan pengalaman dengan bimbingan orangtua. (Sikhah, Guru Taman Kanak-kanak Pertiwi Bobosan, Purwokerto Utara, Banyumas)