(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Bukan Hanya Seperti Burung Beo, Anak Nyaris Bagai Mesin Fotokopi!

Admin disdikpora | 29 Januari 2019 | 986 kali

Dulu, setiap wawancara dengan artis yang baru melahirkan atau sudah punya anak, saya sering menanyakan apa yang berubah dalam hidupnya setelah menjadi orang tua? Satu jawaban yang terkenang, meski saya lupa oleh artis yang mana, kurang lebih begini katanya, Saya dituntut menjadi manusia yang lebih baik, selalu menjaga pikiran, sikap dan kata-kata.”

Bagi saya itu jawaban kontemplatif. Berbeda dengan beberapa artis yang sekadar menjawab hidupnya lebih bahagia, selalu ingat anak saat kerja, jadi pengin cepat pulang, dan lain sebagainya.

Tidak salah tentu saja, karena itu ekspresi rasa. Namun dalam pemikiran saya yang saat itu belum menikah, jawaban demikian biasa saja, kurang mendalam dan kurang ’kutipable’.

Ketika mulai berkeluarga dan punya anak, pada masa tertentu saya mengingat berbagai jawaban di atas. Bahagia, tentu saja, selalu ingat anak saat kerja, dan pengin cepat pulang pasti iya! Namun seiring waktu berjalan dan anak terus tumbuh berkembang, butuh sikap seperti jawaban si artis yang saya sebut kontemplatif tadi.

Ketika anak mulai belajar mengucap kata, yang keluar dari bibirnya adalah yang dia dengar dari orang-orang di sekelilingnya. Ketika anak mulai mengekspresikan rasa, akan serupa dengan ekspresi orang orang di sekitarnya. Pada usia 1-2 tahun ketika anak mulai berbicara, memang masih sederhana, sebatas menyebut papa mama, mau makan, nenen, ikan, burung, dan sebagainya. Namun jangan abai, dia terus mengamati, menyimpan dalam memori dan jika tiba saatnya menirukan segala yang dia serap.

Saya terhenyak ketika si sulung, usianya 4,4 tahun, belakangan melotot dan diam saja ketika marah, tidak merespons diajak bicara. Kalaupun kemudian merespons, dengan nada tinggi. Sama seperti saya.

Ya Tuhan, saya lalai selama ini. Semoga belum terlambat untuk memperbaikinya.

Benar seperti beberapa kali saya sebut dalam artikel, anak adalah peniru ulung. Tidak hanya seperti burung beo, tapi nyaris bagai mesin fotokopi. Orang tua dituntut untuk selalu mawas diri. Kalau tidak ingin anak gemar mengumpat, ya orang tua harus tahan diri melakukannya. Kalau ingin punya anak yang berkata-kata dan berbuat baik, ya lakukan hal itu sebagai contohnya.

Belum lama ini dalam sebuah acara seorang pemuka agama mengingatkan, orang tua adalah pendidik pertama dan utama untuk anak. Dan cara mendidik yang tepat adalah dengan mencontohkan. Mengajari anak berdoa misalnya, tentu bukan hanya dengan mengatakan, ”Nak berdoa itu langkah pertama begini, ke dua begitu ke tiga seperti ini,” tapi ya dengan mengajak berdoa bersama.

Mencintai dengan Lebih Baik

Menuliskan hal di atas memang mudah. Namun praktiknya, sangat tidak gampang. Selain karena kita semua terlahir dengan keunikan sifat dan temperamen khas masing-masing, tidak semua orang tua memiliki waktu penuh bersama anak-anak.

Tak sedikit yang karena tuntutan karier, aktualisasi diri maupun kebutuhan materi dalam rumah tangga, harus mendelegasikan sebagian tugas pengasuhan pada orang lain. Terkadang, sampai di rumah tinggal sisa sisa tenaga. Belum lagi jika ada persoalan di tempat kerja yang mengganggu pikiran dan perasaan.

Yang memilih tidak bekerja di luar bukan berarti tak memiliki kesulitan serupa. Apalagi mengasuh anak sembari menangani berbagai pekerjaan rumah tangga yang tiada selesainya. Tubuh lelah, emosi terkuras. Sulit rasanya menjaga sikap dan tutur kata. Jadi bagaimana?

Saat memikirkan tema tulisan ini, saya teringat berbagai wawancara dengan para pakar. Intinya, menjadi orang tua memang tak mudah. Tapi berbagai kesulitan bisa diatasi jika terus mau belajar dan menjaga cinta dalam keluarga. Soal belajar banyak sumbernya, apalagi di era teknologi sekarang ini. Tinggal mengetuk layar ponsel, semua bisa dicari. Sekali waktu jangan lupa buka buku.

Kali ini saya membuka buku kiriman Pakar Pendidikan Najella Shihab. Salah satunya berjudul Keluarga Kita; Mencintai dengan Lebih Baik.

Buku ini menyebut, tidak ada orang tua yang tidak mencintai anaknya, atau keluarga yang tidak saling cinta. Walau untuk sebagian orang prosesnya tidak instan. Namun katanya, niat baik dan cinta yang lebih banyak hampir selalu tidak cukup. Bukan soal banyaknya cinta, tapi memilih mencintai dengan lebih baik.

Caranya? Memahami sifat dan temperamen anak, mengontrol emosi sebagai orang tua, dan menciptakan komunikasi yang efektif. Di antaranya memahami hukuman versus konsekuensi dan dukungan versus sogokan.

Ada banyak pertanyaan dari para orang tua yang mendapat jawaban dalam buku ini. Salah satunya dari Iraw, ibu 2 putra dan 1 putri. Dia menanyakan, ”Mengapa nasihat, interogasi, menolak perasaan dan perintah bukanlah cara komunikasi yang efektif?”

Begini jawabannya: Teknik-teknik ini menekankan pada orang tua yang lebih banyak bicara dan kurang mendengar sehingga pada akhirnya juga tidak melatih anak untuk mampu berkomunikasi dengan baik. Memilih cara komunikasi yang tidak efektif sering kali juga menggambarkan ketidakpercayaan dalam hubungan. Menasihati karena merasa anak tidak dapat berpikir sendiri, menginterogasi karena yakin pasangan akan berbohong, dan seterusnya.

Mengubah cara berkomunikasi dengan lebih efektif sebetulnya juga cara menunjukkan ekspektasi bahwa kita percaya anggota keluarga akan berespons dengan baik. Menggunakan cara yang efektif juga sekaligus menjadi teladan, menunjukkan alternatif yang perlu dipelajari oleh anak dan pasangan. Dalam waktu tidak terlalu lama, semua teknik yang kita lakukan akan bisa dilakukan secara mandiri oleh anggota keluarga yang lain karena mereka sudah merasakan perbedaan dan manfaatnya.

Pertanyaan selanjutnya, berapa banyak waktu ideal yang dihabiskan bersama anak?

Jawabannya begini: Orang tua sering kali mengharapkan rumus jawaban, namun tidak ada waktu minimal atau maksimal yang tepat dalam setiap situasi. Kondisi anak, kompetensi figur pengasuh selain orang tua, masalah insidental, dan seterusnya sering kali membuat waktu yang kita butuhkan jadi lebih sedikit atau lebih banyak. Waktu ideal juga sering kali tidak bisa diukur harian, tapi kumpulan dari banyak pengalaman selama seminggu. Berikan lebih setiap kali merasa kekurangan, jangan pernah melecehkan keluhan anak saat meminta kehadiran.

Timbangan waktu akan selalu menjadi bagian dari peran sebagai orang tua. Yang pasti makin lama tantangan ini akan menjadi semakin mudah karena bila kita berusaha, kita akan menemukan cara menghabiskan waktu yang lebih berkesan dan menyenangkan. Kita juga belajar mengurangi konflik tak berkesudahan atau perilaku menantang yang sering kali membuat ’malas’menghabiskan waktu bersama anak. Secara umum, waktu yang kurang atau kebanyakan selalu dirasakan oleh kedua pihak. Karena itu biasakan bertanya kepada setiap anggota keluarga dan mengamati perubahan perilaku yang signifikan. (Tari – Ibu Rumah Tangga, Penulis Lepas, Mantan Jurnalis. Foto: Fuji Rachman)