”Ani, besok ulangan Sosiologi, jadi hafalkan bab 2 dan 3, nanti ibu tanya ya.” Seperti itu biasanya ibunya Ani mendidik anaknya agar mampu memperoleh nilai bagus. Ani pun lantas berkurung diri di kamar agar mampu menjawab apa yang ditanyakan ibunya dan sekaligus menjawa soal ulangan besok di sekolah. Apakah betul metode belajar seperti itu? Toto Rahardjo, praktisi pendidikan dan salah satu pendiri Sanggar Anak Alam (Salam) Yogyakarta, dan penulis buku Sekolah Biasa Saja, mengatakan, masih banyak orangtua yang menilai bahwa belajar itu dimaknai ketika seseorang membaca dan menghafal. Dengan pemahaman itulah, orangtua ’tega’ mengurung anaknya di kamar agar dapat belajar dan menghafal untuk mempersiapkan hari esok di sekolah. Menurut Toto, pada dasarnya menghafal itu tidak masalah, namun yang wajib dipahami orangtua, tidak semua hal harus dihafal. Bahkan sebenarnya metode menghafal bukanlah cara yang bagus untuk perkembangan otak. Sebab menjadikan otak lebih bekerja keras untuk mengingat. ”Kemampuan otak untuk menyimpan berbagai hal memiliki titik lemah dan terbatas. Sehingga memori otak jenuh dan menjadikan otak lebih memfokuskan kepada kekuatan ingatan dibandingkan kekuatan berpikir,” terang Toto..
Padahal kekuatan berpikir itu jauh lebih penting dari sekadar menghafal. Menurut Toto, dalam menghafal, seseorang akan melakukan ”dari tidak tahu menjadi tahu.” Sedangkan dalam berpikir, proses yang terjadi adalah ”menemukan gagasan baru yang belum pernah ada sebelumnya.” Sehingga, ”Berpikir dan menemukan gagasan baru jauh lebih penting dari pada sekadar menghafal.” Apa yang dikatakan Toto itu senafas dengan pernyataan profesor bidang matematika sekaligus peneliti ilmu sosial dari Curtin University of Australia Bill Atweh. Dalam sebuah kunjungan ke sekolah dasar di Yogyakarta beberapa waktu lalu, dia mengkritisi masih minimnya riset yang dilakukan oleh akademisi di Indonesia. Atweh menilai, hal itu terjadi karena sistem pendidikan yang hanya difokuskan pada kegiatan menghafal materi pelajaran, belum mampu merangsang siswa untuk menjadi peneliti. Soal menghafal, ada sebuah anekdot yang sebetulnya sudah jadi kenyataan. Anekdot itu adalah: Saat ini tak perlu lagi menghafal pelajaran atau ilmu pengetahuan, sebab sudah ada mesin pencari Google, ada Wikipedia, dan mesin pencari lain. Kalau mau tahu sesuatu, tinggal ketik kata kunci, selanjutnya biar Google yang bekerja untuk kita. Bila semua sudah ada di Google sehingga tak perlu lagi menghafal, lantas keterampilan apa yang dibutuhkan anak-anak kita saat dewasa kelak?.
Wahai para orangtua, inilah bekal yang perlu dipunyai anak-anak kita agar mampu menghadapi tantangan masa depan, yakni :
Inquiry Learning atau pelajaran mencari tahu
Yaitu keterampilan seorang anak untuk banyak bertanya. Sebab dengan kemampuan bertanya yang baik, seseorang akan mendapatkan banyak jawaban. Namun, tak sekadar mampu bertanya, tetapi juga harus dilanjutkan dengan kemampuan mencari jawaban secara mandiri. Caranya, carilah jawaban melalui internet dan bimbing untuk memilah-milah mana informasi yang valid dan mana yang hoax..
Thinking Skills atau kemampuan berpikir kritis dan konstruktif
Yaitu kemampuan anak untuk mencari jawaban dengan aneka cara, proses, dan jalan. Orangtua hanya menyepakati tujuan, dan biarkan si anak mencari cara sendiri.
Sumber: https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=249900547