(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Calistung, Bolehkah Diajarkan Sejak Usia Dini?

Admin disdikpora | 23 Agustus 2018 | 601 kali

Masih banyak orangtua yang menginginkan anaknya begitu lulus TK sudah bisa calistung. Meski sebenarnya tidak diperbolehkan mengajarkan calistung pada AUD.

Yang diperbolehkan hanya memperkenalkan saja. Hal tersebut sejalan dengan isi surat edaran Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah nomor 1839/C.C2/TU/2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Taman Kanak-kanak dan Penerimaan siswa Baru Sekolah Dasar.

Namun agaknya sebagian besar lembaga PAUD di Indonesia masih memberikan calistung dalam proses pembelajarannya. Karena kenyataannya sekolah yang mengajarkan calistung di dalamnya lebih banyak dicari daripada sekolah-sekolah yang tidak mengajarkan calistung.

Berawal dari pola pikir orangtua yang demikian seringkali guru hanya fokus untuk mengembangkan potensi akademik (calistung) pada peserta didik. Bahkan ada yang cenderung mengabaikan potensi non akademiknya.

Padahal semestinya peran guru sebagai fasilitator harus mampu menggali potensi akademik dan non akademik peserta didik. Sehingga peserta didik dapat mengeksplorasi pengetahuannya secara maksimal. Tidak terbatas ruang dan waktu.

Terlebih pada AUD struktur otaknya belum terbentuk secara sempurna. Karena itu semestinya konsep pembelajaran tidak hanya terpusat pada satu aspek perkembangan saja. Namun ada enam aspek perkembangan yang harus dikembangkan. Keenam aspek tersebut saling berkaitan, dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Adapun enam aspek itu ialah:
  1. Aspek kognitif, berkaitan dengan proses berp
  2. Aspek motorik, segala sesuatu yang berhubungan dengan sensor gerak pada tubuh anak.
  3. Aspek sosial dan emosional, terkait kemampuan untuk mengendalikan dirinya, emosinya, serta kepekaannya terhadap lingkungan sekitar.
  4. Aspek bahasa, berhubungan dengan kemampuan anak mengekspresikan perasaan secara lisan, serta bagaimana berkomunikasi dengan lingkungan sekitar.
  5. Aspek seni, kemampuan anak untuk mengeksplorasi kemampuan diri melalui seni, baik itu seni rupa, seni musik, seni tari, serta cabang seni lainnya.
  6. Nilai agama dan moral, maliputi pengenalan nilai-nilai agama yang dianut, mengajarkan ibadah. Serta pembekalan pada sikap keseharian anak, seperti berlaku sopan, tanggung jawab, jujur, menghormati orang lain, bersikap sportif, dan lain sebagainya.

Enam aspek tersebut sudah mencakup nilai akademik dan non akademik. Sehingga penting untuk menstimulasi semua perkembangannya.

Alasan lain, kenyataannya setiap anak memiliki perkembangan yang berbeda-beda. Jadi, jika guru hanya fokus untuk mengembangkan nilai akademik (calistung), maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan antara enam aspek perkembangan anak. Yang berarti guru hanya mengembangkan sebagian kecil dari aspek kognitif saja, sementara aspek yang lain cenderung diabaikan. Dampaknya, dikhawatirkan anak akan mengalami mental hectic (merasa tertekan karena terlalu diforsir, bingung, cemas, dan takut), yang akan berdampak secara berkelanjutan..

Namun, apabila ada yang sudah mampu belajar calistung pada usia dini, itu merupakan pencapaian yang luar biasa dan tidak mengapa diajarkan. Dengan catatan, tidak ada unsur paksaan karena ekspektasi dari orangtua yang berlebihan. (Choirur Rosyidah, Mahasiswa semester 5 jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini Institut Agama Islam Negeri Pekalongan)