Sifat temperamental tidak hanya menghinggapi orang dewasa, beberapa anak juga sudah memiliki sifat yang gampang tersinggung itu. Disenggol sedikit saja, seorang anak temperamental alias si “sumbu pendek” bisa langsung melotot atau bahkan menendang, dan memukul. Jangangkan disenggol saat terjatuh, saat ada orang lain menertawakannya pun, egonya langsung terusik, dan segera mendatangi si anak yang tertawa tersebut dan…memukulnya!
Bisakah kita mengubah anak yang memiliki sifat mudah marah itu? Tentu saja bisa. Segala sifat pada diri anak adalah potensi dan semua potensi bisa diarahkan kepada hal-hal yang positif.
Perhatikanlah ketika anak marah. Dia berlari, melempar, berguling-guling. Tangisnya meledak keras. Luar biasa energinya. Maka, yang dia butuhkan adalah penyaluran energi besar tersebut. Ikhlaslah bila suatu saat ia mengambil segulung lakban besar dan ia habiskan untuk membalut sekujur tubuhnya sendiri -- agar seperti pendekar atau tokoh kartun di televisi. Relakan bila tanaman-tanaman di kebun banyak yang rusak entah karena dicabutnya atau dipotong dahan dan batangnya dengan dalih sedang mengadakan serangkaian eksperimentasi atau tanpa alasan jelas. Sekadar iseng saja.
Menghadapi “kekacauan” seperti itu, sila Anda tarik napas dalam-dalam dan hembuskan pelan-pelan, lalu tersenyumlah. Bersyukur atas karunia anak yang sehat dan aktif tersebut. Meskipun begitu, memang tidak selamanya kita sanggup menyediakan fasilitas untuk penyaluran energinya. Kita jug tak mungkin meminta semua orang untuk memahami sifatnya, untuk tidak membuatnya tersinggung dan marah yang kemudian berujung pada ngamuk.
Lantas bagaimana cara tepat menghadapinya?
Pertama, kita harus tenang. Jangan terpancing atau terprovokasi untuk ikut-ikutan marah. Suara keras, cubitan atau hukuman hanya efektif untuk sesaat, namun akan menyuburkan sifat agresifnya. Biarkan saja dia membanting-banting atau melempar apa saja. Tapi sebelumnya amankan benda-benda pecah belah yang sekiranya membahayakan. Karena anak-anak akan menganggap sama nilai antara kursi plastik dengan lampu kristal.
Kedua, saat anak sudah tenang, ajak dia melihat hasil amukannya sambil kita memberesinya; membuang barang-barang yang patah atau pecah ke tempat sampah, dan seterusnya. Ajak bicara anak kita. Tanya dengan ungkapan lembut kenapa dia marah. Setelah mendengar penjelasannya, katakan kepadanya bahwa mengamuk itu tidak baik. Peluk dia, doakan agar anak bisa menahan amarahnya.
Ketiga, buat kesepakatan dengan anak, kalimat-kalimat apa yang diinginkan untuk mengingatkan ketika dia hendak mengamuk. Misal, ini yang saya lakukan, saya dan anak saya bersepakat bahwa sifat pemarah dan suka ngamuk adalah tindakan cemen (payah, mental kerdil). Jadi ketika ada gelagat si anak akan marah dan ngamuk, saya langsung mengingatkannya dengan kata “cemen” tersebut.
Keempat, ikhlaskan semua yang telah dilakukan anak-anak. Sebagai orang tua, kita jangan memendam amarah apalagi punya rasa dendam atas tindakan yang dilakukan anak kita. Karena ketika anak marah, dan kita meresponnya dengan marah juga, ia akan semakin marah. Marah kita laksana bensin yang membuat api marahnya semakin besar. Sebaliknya, jika kita tidak marah dan ikhlas, itu akan menjadi air yang dapat memadamkan api marah anak kita. *
Agus M. Irkham, pegiat literasi