Mendidik anak dalam suatu keterampilan ringan, memerlukan proses pendampingan. Misal, memberi tugas menyapu rumah. Mengapa kita seringkali tidak merasa puas dengan tugas yang dibebankan pada anak? Karena ada satu tahapan yang terlewatkan oleh orang dewasa, yakni mendampingi anak dalam menjalani proses pembelajaran tersebut.
Sebagaimana orang dewasa yang ingin menguasai suatu ketrampilan, misalnya dalam dunia kerja, awal masuk ke lingkungan baru, ia belum mengerti segala sesuatunya. Tentu saja ia perlu diajari oleh orang lain, dalam hal ini karyawan lama yang sudah lebih dulu menguasai ketrampilan tersebut, cara beradaptasi dengan suasana yang baru, cara mengoperasikan sebuah mesin, mengelola uang kas perusahaan, apa yang perlu dilakukan dalam tahapan-tahapan tersebut, dan seterusnya.
Tentu saja atasan, atau dalam hal ini karyawan senior tidak berhenti sampai di situ. Ia masih perlu melihat langsung sejauh mana pemahaman si karyawan baru dalam hal penguasaan materinya. Salah satunya dengan melepaskannya melakukan pekerjaan tersebut tanpa bantuan. Tahap berikutnya, atasan melepaskannya melakukan pekerjaan tersebut dengan pengawasan sesekali saja. Dan terakhir, pengawasan hanya dilakukan secara berkala. Sepekan sekali, sebulan sekali, atau bahkan bisa jadi hanya pada saat menemukan kendala yang berarti di lapangan.
Apabila orang tua menginginkan keterlibatan seorang anak usia Sekolah Dasar dalam hal bantuan pekerjaan rumah tangga sehari-hari, maka hendaknya orang tua membimbingnya setahap demi setahap hingga si anak benar-benar mampu melakukannya dengan baik.
Sebenarnya tujuannya bukan saja agar anak mahir, melainkan untuk mencegah terjadinya peluang-peluang anak mangkir atau asal kerja. Mengapa ini penting, agar anak pun tahu bahwa orang tua benar-benar peduli dengan dirinya dan dengan apa yang diajarkannya. Ada kesungguhan di dalamnya, sehingga anak tidak akan menanggapinya dengan main-main.
Seperti halnya mengajari dan melatihnya melaksanakan ibadah salat. Selain pada awalnya penting mengajari tatacaranya, tak kalah pentingnya juga adalah mendampinginya dalam pelaksanaannya. Apakah sudah benar dan sesuai dengan yang diajarkan atau tidak. Nanti pendampingan bisa dikurangi frekuensinya, manakala anak sudah mulai mahir mengerjakannya, dan saat simpul-simpul saraf di otaknya sudah mulai menjalin ketrampilan atau kebiasaan baru tersebut.
Dengan memahami tahapan pembelajaran anak seperti ini, orang tua atau guru akan semakin mengerti tahapan-tahapan yang perlu dilalui untuk menanamkan sebuah perilaku tertentu pada diri anak. Sehingga tidak akan muncul lagi perasaan kecewa manakala perilaku anak tidak terbentuk sesuai dengan harapan. Kita perlu melakukan introspeksi diri, menoleh kembali ke belakang untuk mengevaluasi proses yang telah kita jalani. *
Mauliah Mulkin, pemerhati pendidikan, dan pengusaha buku