Setiap orang tua memiliki prioritas yang berbeda dalam menjalankan pola asuh anak. Tumbuh sehat saja tidak cukup. Ada yang mengidamkan anak dengan kemampuan akademik tinggi, ada yang fokus kepada pembentukan karakter, ada yang mengalir saja seperti air dan ada yang menerapkan disiplin ketat.
Disiplin bagi anak biasanya berhubungan dengan tanggung jawab sederhana. Seperti membuang sampah pada tempatnya atau merapikan mainan setelah bermain. Sehingga anak -anak belajar untuk tumbuh menjadi pribadi yang bisa dipercaya dan diandalkan.
Tapi belakangan ini disiplin dianggap sebagai tali yang mengikat anak agar orangtua mudah untuk menarik mereka dari satu titik ke titik yang lain. Disiplin adalah pagar yang sempit padahal yang anak butuhkan adalah halaman yang luas utuk melompat dan berlari.
Orangtua beranggapan bahwa anak hanya butuh dengan pengetahuan seperti nama-nama binatang maupun warna dan bentuk. Sehingga sikap duduk manis di kursi itu menjadi satu harapan paten yang tidak bisa diganggu gugat. Mereka tidak tahu bahwa kebutuhan anak kecil itu banyak. Anak-anak butuh dengan kegiatan yang mendukung sistem keseimbangan, maupun kemampuan motorik kasar dan halus. Maka wajar bila banyak anak yang pintar tetapi secara fisik dan mental mereka lemah. Sedangkan anak yang dianggap nakal, justru bermental baja dan pemberani.
Kurangnya pengetahuan dan skala prioritas yang membuat disiplin bagi anak memiliki penyempitan fungsi. Ditambah lagi anak harus mengikuti banyak instruksi absrak yang secara usia, mereka belum mampu untuk menerimanya.
Dalam kegiatan shalat saja. Nabi pernah membiarkan cucunya untuk menaiki punggung beliau sampai durasi sujudnya lebih lama dari biasanya. Itu membuktikan, bahwa anak kecil dikenalkan dengan kegiatan ibadah hanya sebatas perekaman memory. Sehingga anak akan tumbuh sesuai figur yang pernah ada di dalam memorynya.
Banyak metode yang dipakai oleh pengajar ngaji kampung di sekolah TPA atau madrasah yang bisa kita tiru. Mereka kadang terlihat keras dalam pengajaran, tapi mampu menjadi figur bagi anak-anak. Sedangkan kita cenderung lembut dalam proses pengajaran, tetapi tidak bisa menjadi contoh dan pengisi memory anak -anak untuk mereka tiru di hari kemudian. Guru madrasah paham bahwa disiplin tidak menghalangi kesempatan anak untuk tetap hidup sebagai anak anak.