”Ma, aku ikut olimpiade fisika, ya,” ucap Fadhil.
”Memangnya kamu bisa?” tanya Mama.
”Bunda, aku ikut kompetisi dance, ya,” izin Alda.
”Buat apa ikut-ikut dance, belajar aja yang rajin. Kalau mauikutan kompetisi matematika atau Bahasa Inggris, Bundaizinin!”
Pernahkah mendengar percakapan seperti di atas? Atau kita sebagai orangtua pernah mengatakan kalimat itu pada remaja kita?
Banyak perkataan yang sebenarnya tidak ingin didengar remaja dari ucapan orangtuanya. Kala mereka mulai menunjukkan minat dan ketertarikan pada suatu bidang, tidak sedikit orangtua meragukan, meremehkan bahkan melarang sebelum mereka melakukan apalagi sempat membuktikan.
Tahukah Anda, ketika anak-anak beranjak remaja, mereka akan berusaha mengurangi dominasi orangtua dalam kehidupannya? Oleh karena itu, kemampuan remaja dalam mengidentifikasi minatnya merupakan point plus di antara sebagian besar remaja yang bahkan tidak tahu passion-nya, terkesan ikut-ikutan teman atau hanya ’menggugurkan kewajiban’ instruksi orangtua.
Dukungan menjadi sangat penting bagi remaja dalam menemukan minat, menumbuhkannya hingga pada akhirnya menjadi ahli di bidangnya. Orangtua harus mampu merespons secara positif ”kemauan” yang dimiliki remaja selama dalam koridor yang semestinya.
Ketika remaja mengungkapkan kemauannya sementara kita sebagai orangtua meragukan kompetensi yang dimilikinya, jangan terburu-buru melarang atau mempertanyakan. Pindahkan fokus kita bukan pada ’penaklukan’ tetapi pada ’persiapan perang’.
Apa maksudnya? Jangan terfokus pada hasil menang atau kalah, tetapi fokuslah pada cara remaja mempersiapkan diri dalam menunaikan kemauannya.
Kita bisa mengatakan, ”Baik, boleh ikut, apa yang akan kamu lakukan untuk mengikuti kegiatan itu?” Pertanyaan semacam ini secara tidak langsung akan membimbing remaja pada tanggung jawab atas pilihannya dan mereduksi potensi ”ikut-ikutan” tren di kalangannya.
Fokus pada penanaman sportivitas. Daripada membahas soal kekalahan atau kegagalan yang akan ditelan oleh sang anak karena orangtua meragukan kemampuannya, alangkah lebih bijak jika mendorong anak melakukan yang terbaik. Tanamkan bahwa kekalahan adalah hal yang biasa sepanjang telah melakukan yang terbaik.
Banyak orangtua yang merasa yakin bahwa kekalahan menjadi hasil akhir si anak bahkan sebelum anak melakukan apapun. Hal ini membuat sebagian besar remaja enggan mencoba hal baru dan mengesampingkan keinginannya, hanya melakukan hal-hal pada zona-zona aman atau melakukan sesuatu selama mendapat ’restu’ orangtua. Akibatnya mental remaja begitu rendah karena menganggap kekalahan adalah hal yang memalukan. Ironisnya, banyak remaja yang mencari pembelaan atas kekalahan dengan mengkritik pemenang atau pihak lainnya.
Ubahlah cara pandang kita sebagai orangtua dan remaja dengan mengutamakan proses optimal adalah sebagai suatu kemenangan, sedangkan keluar sebagai juara adalah bonus. Cara ini bisa menguatkan mental, menumbuhkan rasa percaya diri dan sportivitas remaja.
Berikan dukungan yang terarah. Mayoritas orangtua masih beranggapan bahwa yang disebut prestasi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan akademik, berbau eksak, dan berhubungan dengan dunia sekolah. Minat dan bakat anak-anak di luar dunia sekolah seringkali terabaikan karena kurangnya dukungan dan miskinnya apresiasi.
Saat ini sudah banyak wadah bagi remaja untuk bisa menyalurkan minat dan berprestasi. Seperti ajang menyanyi, menari (dance), olah raga bahkan game sekalipun.
Kekhawatiran orangtua terhadap remaja yang sedang berada dalam proses pencarian jati diri menjadi hal wajar. Takut remajanya salah memilih atau terjebak pada hal-hal yang tidak penting.
Namun yang perlu dilakukan orangtua bukanlah mengubur kemauan anak, tetapi mengarahkan agar kemauan anak dapat memberikan dampak positif baik bagi diri sendiri dan orang banyak. Mengatur waktu secara proporisonal dan bertanggung jawab pada kewajibannya.
Mintalah bantuan dalam membimbing ’kemauan’ remaja. Jika orangtua tidak memiliki kapasitas maupun kompetensi yang mumpuni dalam mendukung minat anak. Jangan ragu untuk mengomunikasikan pada siapa saja yang dianggap mampu mendukung minat anak. Misalnya guru, kakak kelas, kerabat atau tempat-tempat kursus dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar minat anak tetap terpelihara bahkan tumbuh dan berkembang.
Kemauan menjadi hal penting bagi remaja untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Masa remaja bukan hanya mengalami krisis identitas, tetapi juga mulai mengalami krisis kemauan.
Banyak remaja yang memiliki kemampuan tetapi tidak memiliki kemauan untuk mengembangkan kemampuan yang sudah ada dalam dirinya. Oleh karena itu, dukungan terhadap kemauan tidak kalah penting bagi remaja jika dibandingkan dengan dukungan terhadap kemampuannya. Mulailah untuk menghargai setiap kemamuan remaja kita di rumah maupun di sekolah. (Sri Rahayu - Guru MI Al-Falah Jakarta. Foto: Fuji Rachman)