(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Ingat, Pendidikan Seks Itu Penting! (2)

Admin disdikpora | 15 Januari 2019 | 538 kali

 Psikolog Elizabeth Santosa berkali-kali mengingatkan bahwa pra remaja dan masa remaja adalah usia krusial bagi anak. Terutama menyangkut ketertarikan dengan lawan jenis.

Saya ingat dalam sebuah wawancara, psikolog yang akrab disapa Lizzie ini menyebut masa remaja adalah masa badai. Masa di mana mereka mengalami transisi hormonal yang kerap bikin labil. Badan sudah besar tapi masih seperti anak-anak, merasa diri dewasa tapi tidak punya tempat.

Agar siap menghadapi masa seperti ini, anak harus selalu didampingi dan mendapat pendidikan seks sejak dini. Kapan tepatnya? Sejak balita!

”Yang perlu ditekankan adalah pendidikan seks itu penting sepanjang usia. Karena setiap perkembangan usia kita ada tahapan-tahapannya; dari anak-anak, remaja hingga dewasa. Memangnya dewasa masih perlu juga? Jawabannya ya, karena sebagian pasangan menikah tidak bahagia ternyata karena pendidikan seksnya kurang. Apalagi seks adalah salah satu kunci sukses harmonisnya keluarga juga,” ungkap Lizzie.

Nah yang perlu diingat saat memberikan pendidikan seks bagi balita adalah pemahamannya yang masih terbatas.

Anak di bawah 4 tahun belum memahami abstrak. Jadi saat mengenalkan bagian-bagian tubuh, terutama alat vital, dapat menggunakan alat peraga seperti boneka. Suasana pengajarannya pun harus menyenangkan, bisa dengan mendongeng. Sebab pendidikan seks bukan sesuatu yang menyeramkan apalagi tabu.

”Mungkin karena dalam masyarakat kita mendengar seks itu mengacu pada aktivitas ya. Kalau untuk remaja dan dewasa memang bisa dimasukkan tema dating (kencan), hubungan pria dan wanita. Kalau anak-anak, cukup untuk memahami fungsinya, higienitas, dan sebagainya,” tutur Lizzie.

Contoh mengenalkan mulut. Untuk apa? Mungkin anak akan menjawab minum, makan, bicara, hingga mencium. ”Hah mencium? Mencium siapa? Mama dan papa.”

Nah di sinilah bisa disisipkan tips atau pendidikan seks, misal dengan pertanyaan siapa yang nggak boleh dicium?

Orangtua dapat membuat kategori atau batasan, misalnya keluarga hanya dapat mencium pipi. Sementara orang asing jangan.

”Ini bisa menjadi dasar pengetahuan untuk menghadapi dan membedakan pelecehan seksual ke depannya,” tandas Lizzie.

Selanjutnya, kenalkan organ vital dan fungsi-fungsi serta hal terkait lainnya. Ini bisa jadi perbincangan saat praktik menceboki dan sebagainya.

”Misalnya bagian depan seperti penis atau vagina. Gunanya apa? Untuk pipis, makanya harus bersih. ’Adik kalau diceboki mami harus bersih ya.’ Saat pupup (buang air besar) misalnya, anak juga bisa diajak ngobrol pupupnya keluar dari mana? Dubur namanya. Bisa dijelaskan juga bahwa yang keluar adalah ampas makanan. Kalau makan wortel pupupnya warna oranye. Beritahu juga siapa saja yang boleh mencebokinya,” jelas Lizzie.

Anggota tubuh lain yang tak boleh terlewat, menurut Lizzie, adalah dada. ”Saat ibu dan anak perempuan mandi bersama misalnya bisa dimanfaatkan untuk pengenalan buah dada. ’Oya punya adik masih rata ya. Kalau perempuan nanti kayak mama, akan jadi besar.’ Pelan-pelan singgung juga fungsinya. Mungkin dia akan menjawab untuk menyusui. Jadi nanti dia akan tahu bahwa dada bukan sekadar erotis dan harus ditutupi tapi fungsi utamanya menyusui. Barulah kemudian kita singgung pencegahan kejahatan; harus ditutup dan nggak boleh dipegang oleh siapa-siapa,” paparnya. (Tari – Ibu rumah tangga, penulis lepas, mantan jurnalis)