(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Jangan 'Berlebihan' Tentang Anak

Admin disdikpora | 29 Oktober 2018 | 697 kali

Shinta   khawatir melihat anak satu-satunya, Salsabila, yang duduk di kelas 4 SD, murung dan tidak mau main. Padahal, sebelumnya Saksabila selalu lincah dan gemar bercanda. Untuk kembali membuat ceria, lantas Shinta memanjakannya dengan membeli makanan kesukaan Salsa, mengajaknya bermain ke mall dan membelikan apapun yang dinginkan.

Orangtua yang lain, Sunarti, mengaku sulit menolak atau mengatakan ‘tidak’ pada anaknya. Menurutnya, mengatakan ‘tidak’ akan merusak suasana hati si anak yang berujung hilangnya semangat.

Apakah benar apa yang dilakukan Shinta dan Sunarti itu?  Anindya Jati Andri, seorang praktisi psikologi lulusan Universitas Indonesia, dalam blognya anindyajati.wordpress.com, mengakui, banyak orangtua percaya berlebihan pada suatu hal mengenai anak tanpa mencari terlebih dahulu kebenarannya.

Psikolog yang fokus pada psikologi klinis itu memberi contoh antara lain :

 

Anak tidak bahagia
Sebenarnya wajar bila orangtua  ingin anaknya bahagia. Namun jadi berlebihan jika anak terlihat tidak bahagia pada waktu atau dalam situasi tertentu, orangtua lantas khawatir dan lantas memberikan perhatian secara berlebihan hingga memanjakan. Menurut Anindya, anak-anak perlu merasakan pasang surut kehidupan. Pengalaman emosional penting bagi anak termasuk memiliki emosi negatif.  Orangtua boleh khawatir bila ketidakbahagiaan yang dialami anak itu sifatnya menetap dalam waktu lama. mungkin pertanda anak anda sedang berjuang dengan depresi. Apalagi bila anak menangis, malas melakukan kegiatan dan mengalami kesulitan tidur, mudah tersinggung, dan terus merasa gelisah. Kuncinya adalah lihatlah gejala ini apakah muncul secara konsisten atau situasi tertentu saja. 

Mengatakan ‘tidak’ pada anak.
Dengan alasan ingin anaknya bahagia, tak sedikit orangtua yang percaya bahwa mengatakan ‘tidak’ kepada anak-anak itu  kasar dan berpotensi merusak. Karenanya, mereka selalu mengatakan ‘ya’ walau hatinya mengatakan ‘tidak’. Padahal, kata Anindya, selama tidak dikatakan dengan nada agresif atau bermusuhan, mengatakan ’tidak’ pada anak merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Alasan untuk mengatakan ‘tidak’ itu jauh lebih penting daripada kata ‘tidak’ itu sendiri. Contohnya ketika orangtua mengatakan ‘tidak” pada anak dalam dalam hal  penggunaan ponsel, atau tidak membelikan mainan tambahan yang diminta anak karena tidak mereka butuhkan walaupun mereka merengek. Solusinya, saat mengatakan ‘tidak’ itu, orangtua perlu memberikan penjelasan yang masuk akal.

 

Membuat strategi pola asuh yang bagus.
Pola asuh yang baik tidak selalu harus dengan serangkaian strategi dan proses spesifik. Yang harus jadi perhatian orangtua adalah pola pikir orang tua, yakni bagaimana berpikir, merasakan dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Maksudnya, orangtua yang percaya diri akan dapat menciptakan anak yang percaya diri juga.  Orangtua yang mampu menghadapi kegagalan dengan sikap hidup positif cenderung memiliki anak yang tangguh dan penuh harapan. Sebaliknya, jika orang tua yang selalu berpikir hal-hal yang buruk dan pesimis cenderung mengingatkan anak-anak khawatir dan ragu, dan menghindari tantangan. Hal ini mencegah anak-anak belajar mengambil risiko. Orang tua sebaiknya bisa menemukan insting pengasuhan mereka sendiri dan bereksperimen dengan apa yang terbaik untuk anak karena tidak ada anak yang persis sama kebutuhannya. 

Mengutamakan kebutuhan anak
Anak memang dapat menyita waktu orangtua dan budaya di tengah kita seakan mempromosikan cara hidup yang sangat terobsesi dengan anak. Hal ini membuat banyak orang tua mengabaikan kebutuhan diri sendiri. Analoginya, betapa penting bagi orangtua untuk memakai masker oksigen untuk diri sendiri lebih dahulu sebelum memakaikan pada anak kita ketika pesawat dalam keadaan darurat. Ini tidak hanya membantu orangtua menjaga diri tetap sehat secara fisik namun juga mental, hal ini juga akan mengkomunikasikan pada anak-anak kita  pentingnya belajar bertanggung jawab pada diri sendiri.

 

Mengabaikan pasangan
Banyak kejadian, pada tahun-tahun awal memiliki anak, dengan alasan sibuk mengurus bayi, banyak pasangan suami-istri terpisah satu sama lain, dan banyak diantaranya dapat bertahan dari kondisi itu. Misalnya, ketika pasangan hanya berkomunikasi saat ada konflik, atau tidak mencoba mencari waktu tanpa anak-anak mereka sesekali waktu. Padahal anak-anak kita belajar untuk memiliki hubungan yang dekat dengan memperhatikan kita sebagai orangtua. Salah satu hal terpenting yang dapat kita lakukan untuk anak-anak kita adalah memelihara hubungan kita dengan pasangan kita. Orang tua dapat memberikan contoh dengan mengucapkan terima kasih, memuji dan saling menyentuh.  Yanuar Jatnika