”Anak-anak, apakah cita-cita kalian,” tanya Bu Guru.
”Saya ingin jadi dokter, Bu.”
”Saya ingin jadi pilot, Bu.”
”Saya ingin jadi astronot, Bu.”
Nah, itulah sedikit gambaran bila putra-putri kita ditanya cita-citanya. Anak-anak kita cenderung akan mempunyai cita-cita sebagai dokter, astronot, pilot, pengusaha, presiden, guru, pramugari, atau menjadi artis terkenal.
Memang, cita-cita itu sangat mulia dan layak Ayah-Bunda mendukungnya. Akan tetapi hal itu sangat ironis bila menengok tentang siapa sebenarnya bangsa Indonesia tercinta ini. Bangsa Indonesia sudah termasyhur sebagai negara agraris, negara yang mengutamakan bidang pertanian sebagai pondasinya. Tetapi sangat jarang generasi mudanya bercita-cita menjadi petani.
Berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilaporkan hipwee.com cita-cita menjadi petani tidak termasuk dalam kategori sepuluh besar cita-cita yang dipilih oleh anak-anak. Cita-cita sepuluh besar yang menjadi pilihan anak-anak antara lain dokter, pilot, astronot, profesor, presiden, artis, atlet, guru, polisi, dan menjadi seperti ibu bapaknya.
Profesi menjadi petani menempati urutan ke 23. Sangat jarang putra-putri kita yang memilih petani sebagai pancangan cita-citanya.
Data ini didukung hasil survei dari KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan) yang menyatakan bahwa pemuda di Indonesia 70% tidak tertarik menjadi petani padi, dan 73,30% tidak tertarik menjadi petani holtikultura. Bahkan anak para petani pun kurang tertarik menjadi petani. Dari hasil Riset KRKP ada 63% anak petani yang menolak menjadi petani. Lantas bagaimana dengan putra-putri lain, yang bukan anak petani? Ayah-Bunda dapat membayangkan sendiri.
Karena itu, jumlah petani di Indonesia yang notabennya sebagai negara agraris semakin berkurang. Berdasarkan catatan dari KRKP dalam satu dekade dari tahun 2003 hingga 2013 terjadi penurunan jumlah petani sebanyak 5 juta. Selain itu petani-petani di Indonesia masih didominasi generasi tua, hampir mencapai 70%. Apakah jadinya negara kita, bila putra-putri kita pun kelak juga menolak menjadi petani?
Rendahnya minat untuk menjadi petani, menurut riset yang dilakukan oleh Sri Heny Susilowati, disebabkan:
Citra yang jelek tentang petani
Profesi petani dianggap tidak bergengsi dan dipandang sebelah mata. Di mata anak-anak, petani hanya orang-orang yang harus menceburkan diri di sawah, kotor, belepotan tanah, mencangkul, menanam padi, dan terpapar sinar matahari.
Tidak dapat memberikan jaminan finansial
Anggapan ini muncul dikarenakan mereka melihat sebagian besar petani di lingkungan sekitarnya pendapatannya rendah, rumahnya sederhana, mobil tidak punya dan kehidupannya biasa saja.
Tidak memiliki lahan luas
Sekarang sangat banyak lahan pertanian yang berubah fungsi menjadi pemukiman, perkantoran, kawasan industri, maupun pertokoan. Bagaimana mungkin mereka bercita-cita menjadi petani, bila kenyataannya lahan yang digarap semakin sempit?
Belum ada insentif khusus untuk petani muda
Umumnya kita mendengar istilah guru berprestasi atau karyawan yang berprestasi. Mereka akan mendapatkan penghargaan dan insentif khusus untuk lebih meningkatkan profesionalisme dan motivasinya dalam menekuni pekerjaan. Tapi hingga sekarang belum ada penghargaan bagi petani muda, apalagi insentif bagi pemuda yang mau bergelut di bidang pertanian.
Tidak dikenalkan oleh orangtua
Hasil survei KRKP menunjukkan bahwa generasi muda tidak berminat dalam bidang pertanian karena orangtua mereka tidak mengenalkan profesi petani kepada putra-putrinya. Tidak ada transfer pengetahuan tentang pertanian dari orangtua ke putra-putrinya. Sebagian besar mereka mengenal ilmu pertanian dari otodidak. Apakah mungkin orang tua juga takut anaknya sengsara jika menjadi petani? (Siti Fatimah - Penulis dan guru di SMP 2 Kudus Jawa Tengah)