(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Jangan Paksa Anak Kuliah Jurusan Tertentu!

Admin disdikpora | 25 Februari 2019 | 1060 kali

Beberapa pengusaha dan orang ternama saat kuliah menempuh jurusan yang ’dipaksakan’ orangtuanya. Saat wisuda mereka ’menyerahkan’ ijazahnya, lantas berpamitan mengejar mimpinya, kuliah lagi di bidang yang disuka.

”Rugi, kan? Waktu empat tahunan terbuang dan anak tidak happy! Akibatnya lagi anak tidak perform dan mungkin malah mengganggu orang lain,” seru Guru Besar Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Prof. Rhenald Kasali Ph.D.

Maka Rhenald menyarankan, saat anak memasuki masa memilih jurusan kuliah orangtua tidak boleh campur tangan terlalu jauh. Cukup jadi fasilitator saja, memberikan pertimbangan.

Misalnya dengan mengajak mengamati sekitar, tentang bagaimana fenomena saat ini dan kemungkinannya ke depan. Di antaranya, profesi-profesi yang mungkin dulu tak terbayang ada, sekarang jadi rebutan. Sebutlah chef, atau yang baru-baru  ini bermunculan social media consultant. Bahkan tak sedikit yang memilih jadi pengusaha start up.

Maka salah satu syarat orangtua menjadi fasilitator adalah terbuka dan mengikuti perkembangan zaman. Sebab seperti yang ditulis Rhenald Kasali dalam bukunya DisruptionMenghadapi Lawan-lawan Tak Kelihatan dalam Peradaban Uber, dunia sedang berubah.  

Sedikit mengulik sejarah, Rhenald mencontohkan, pada awal abad ke 20 ketika mobil bertenaga bensin menggantikan kereta kuda, dunia perlahan-lahan menyaksikan semakin pudarnya bengkel kereta kayu dan peternakan kuda. Pada saat bersamaan hadir bengkel otomotif, perusahaan jasa asuransi dan SPBU.

Jelas ini mempengaruhi jenis pekerjaan yang ada. Dari yang sebelumnya sangat dekat dengan alam dan tanpa mesin, tanpa polusi, tanpa kursus, berubah menjadi sangat mekanis, polluted, dan berbasis keterampilan kursus. Saat itu di seluruh dunia manusia menyaksikan suatu peralihan; masyarakat pertanian-peternakan menjadi masyarakat industri dan jasa.

Kini dunia berubah lagi, masyarakat tengah menyaksikan perpindahan dari mobil bertenaga bensin ke self-driving car yang dikendalikan teknologi informasi (internet) melalui smartphone. Petugas bengkel kelak bukan lagi seorang montir, melainkan para ahli IT yang bekerja dengan perangkat lunak.

Dunia juga sedang menyaksikan teknik baru dalam pengobatan yang kelak akan mengubah wajah rumah sakit, perusahaan asuransi, dan profesi tertentu. Munculnya telemedika dan wearable mengubah cara dan tentu saja layanan kesehatan.

Rhenald mencontohkan di Jakarta Selatan dan banyak titik lain sudah muncul beberapa klinik cuci darah yang melayani segmen low-end melalui e-medical center. ”Jangan kaget, suatu hari nanti pemimpin dan pemilik klinik semacam ini bukan lagi dokter melainkan para ahli IT,” tulisnya.

Maka tak heran jika dunia juga tengah menyaksikan runtuhnya perusahaan-perusahaan besar, para pemilik brand yang sepuluh hingga tiga puluh tahun lalu begitu memesona dan berkibar. Seperti dialami Kodak dan Nokia.

Keadaan lebih parah pada perusahaan atau institusi yang tak pernah menjembatani lintas generasi. ”Bridging generations seharusnya menjadi salah satu program penting perubahan abad ini yang harus dilakukan berkali-kali,” saran Rhenald.

 

Biarkan Anak Ambil Keputusan

Dalam ilmu psikologi, anak yang sudah menjalani pendidikan menengah atas, tepatnya berusia 18 tahun masuk kategori Dewasa Awal. Artinya dia mulai dapat menerima tanggung jawab dan membuat pilihan.

”Jadi setelah memberikan pertimbangan-pertimbangan, selanjutnya biarkan anak mengambil keputusan sendiri. Karena dia yang akan menjalani dan harusnya happy. Kalaupun nanti gagal ya nggak masalah. Lebih baik anak gagal satu kali daripada selamanya,” saran Rhenald.

Masalahnya, kata Rhenald, banyak orangtua ketakutan anaknya gagal satu kali. ”Akibatnya  malah gagal selamanya,” tandasnya.

Lantas bagaimana supaya orangtua tidak cemas anaknya salah pilih jurusan dan gagal? ”Harus dididik dari kecil,” jawab Rhenald.

Pendidikan yang dia maksud antara lain dimulai dengan memastikan anak memiliki kemampuan sesuai tahap perkembangannya. Pastinya sembari dilatih membuat keputusan-keputusan dalam berbagai hal.

”Jangan semua diputuskan orangtua!” pesan Rhenald. ”Kalau anak dari kecil nggak bisa ambil keputusan, jadinya main-main,” tambahnya mengingatkan.

Hal lain yang bisa diterapkan adalah memperhatikan minat dan bakat anak. ”Kalau dari kecil kelihatan minat jadi dokter, arsitek, bio technology atau sipil, fokuslah di sana,” saran Rhenald.  

Meski begitu orangtua juga harus punya pemikiran yang longgar. Sebab hanya sekitar 5 persen bahkan kurang, mahasiswa yang ambil jurusan ekonomi misalnya benar-benar menjadi ekonom. Selebihnya ada yang jadi akuntan, politikus, dan sebagainya. ”Angkatan Ibu Sri Mulyani, ya hanya dia yang jadi seperti itu,” sebut Rhenald.

Jadi banyak yang hanya ambil dasarnya. Tidak ada bedanya dengan kebanyakan yang ambil filsafat dan jurusan lainnya. Setelah lulus bahkan tidak menekuni bidang yang dia pelajari.

”Jadi jangan bayangkan  anak kita jadi yang hanya lima atau bahkan satu persen itu. Dia bisa jadi apa saja. Tapi tenanglah, dunia bukan hanya milik si jenius saja. Banyak pilihan untuk anak kita. Maka jangan diatur berlebihan, biarkan dia berkembang,” tutur Rhenald.

 

Gengsi atau Hanya Ikut-ikutan

Hal lain yang perlu diingatkan orangtua pada anak adalah jangan sampai ambil jurusan tertentu hanya karena ikut-ikutan teman atau kelompoknya. Bukannya tak boleh sama, namun pastikan anak benar-benar menyukai jurusan yang dia pilih dan serius menekuninya. ”Sebab banyak yang hanya ikut-ikutan dan akhirnya gagal,” Rhenald mengingatkan.

Sebagai contoh profesi chef yang belakangan naik daun. Beberapa orang menjadi ternama, muncul di televisi serta berbagai acara off air dan tentu saja sukses dalam hal finansial. Banyak yang kemudian tergiur lantas ikut-ikutan. Padahal belum tentu dapur dan segala printilannya adalah passion dia.

Artinya, dorong anak untuk mengambil jurusan yang bikin dia happy. ”Karena yang happy yang bikin sukses,” tandas Rhenald.

Jangan pula anak memilih bidang studi tertentu hanya karena gengsi. Misal karena jurusan tertentu terlihat mentereng dan isinya anak orang kaya semua.

”Menjadi masalah besar kalau orangtua dan anak hanya punya uang. Prinsipnya yang penting gaya, kuliah di luar negeri atau pilih sekolah mahal yang isinya orang kaya semua. Setelah lulus tidak tahu mau ngapain,” ujar Rhenald mengingatkan.

Rhenald kemudian mencontohkan salah satu anak kenalannya dari keluarga berada yang kuliah di luar negeri. Namun karena berbagai hal dikeluarkan dari kampus dan dideportasi.

”Sampai Indonesia bingung. Akhirnya ketika datang ke saya. Saya bilang pilihlah sesuatu yang kamu suka. Ternyata dia suka game sehingga akhirnya menempuh pendidikan penerbangan dan jadi pilot. Dia bisa perform tapi butuh waktu lama. Untunglah orantuanya mampu kasih fasilitas. Kalau yang tidak?” kisah Rhenald sembari mengajak merenung.

Sekali lagi Rhenald menekankan, hal di atas tak akan terjadi kalau orangtua bisa mendidik dari kecil. Membuat anak tahu apa yang dia mau serta bagaimana mencapainya. (Kristina Rahayu Lestari – Ibu Rumah Tangga, Mantan Jurnalis. Foto: Fuji Rachman)

 

Sila bagikan artikel ini: