Karakter seseorang tidak tumbuh dengan sendirinya. Selain faktor genetik, ada banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan karakter seseorang. Faktor-faktor lain itu antara lain pendidikan, pola asuh keluarga, pergaulan, dan budaya setempat..
Itulah yang menjawab pertanyaan, kenapa seseorang dari budaya tertentu relatif lebih mandiri, lebih trampil, dan lebih tahan banting, sementara orang dari budaya lain dikenal manja, cengeng, dan sebagainya.
Psikolog dari Universitas Osnabruck, Jerman, Heidi Keller, meyakini, ada perbedaan antara pola asuh yang diterapkan keluarga di Eropa dan di Asia. Ia mengidentifikasi, keluarga di Eropa lebih mengedepankan pola asuh distal yang mengutamakan kontak mata dan komunikasi melalui kata-kata dan ekspresi wajah. Sementara keluarga di Asia lebih menerapkan pola asuh proksimal, yakni pola asuh dengan mengedepankan kontak tubuh antara ibu dan anak dalam waktu lama serta konsisten.
Menurut penelitian keller, gaya asuh proksimal yang diterapkan ibu-ibu di Asia umumnya melakukan kontak tubuh intensif dengan anak, dari lahir sampai setidaknya seusai masa menyusui. Tidur bersama si kecil, mandi bersama, dan menggendong bayi ketika bepergian adalah hal lazim bagi orang tua di Asia. “Pola asuh ini membentuk self-regulation atau kemampuan mengontrol emosi, perilaku, dan perhatian," kata Keller.
Menurut Keller, anak-anak dengan pola asuh proksimal ini cenderung patuh dan taat pada orang dewasa, utamanya orang tua. Keberadaan ibu di sisi mereka yang selalu memberi perasaan nyaman membuat anak-anak Asia cenderung lebih tenang.
Ibu-ibu di Asia juga dikenal proaktif dalam memahami kebutuhan si kecil. Mereka melakukan apa pun demi menghindari si kecil rewel dan menangis. Ibu-ibu di Asia bisa dikatakan hampir selalu berada bersama bayinya selama dua tahun pertama. Sebuah survei di Jepang bahkan mengungkapkan, ibu-ibu di Jepang umumnya hanya menghabiskan waktu dua jam per minggu tanpa bayi di sisinya.
Dalam penilaian Keller, pola asuh proksimal ini menyebabkan anak-anak Asia tidak pandai menyampaikan emosi, sehingga kerap meluapkan emosi dengan cara yang salah. Mereka juga kurang percaya diri, kurang pandai mengambil keputusan, pasif, dan memiliki ketergantungan yang tinggi pada orang tua. Lantaran terbiasa dilayani, mereka cenderung menunggu kebutuhan mereka dipenuhi alih-alih berusaha mendapatkannya.
Lain lagi dengan pola asuh distal yang diterapkan keluarga di Eropa. Dalam pola asuh distal ini, anak selalu diperlakukan sebagai seorang manusia, bukan bayi. Cara ini mendorong anak-anak mengenali diri sedini mungkin atau self-recognition.
Hasil pola asuh distal ini, anak-anak di Eropa melihat dirinya sendiri sebagai “pemain” di dalam lingkungan tertentu serta menyadari bisa memberikan pengaruh dan kontrol di lingkungan itu. Itu sebabnya, anak-anak di Barat lebih percaya diri, ekspresif, berani mengatur, berargumen, dan menyampaikan gagasan.
Salah satu kelemahan----kalau bisa dikatakan kelemahan--- anak yang diasuh melalui pola asuh distal ini akan membentuk dirinya sebagai “penguasa” di lingkungannya melalui proses pengenalan diri itu. Mereka menangis dan melakukan apa pun agar keinginannya terpenuhi, juga melanggar aturan yang tidak mereka terima, karena posisi anak dan orang tua setara. Mungkin menurut orang tua Asia, cara anak-anak di Barat memperlakukan orang tua secara setara itu dinilai melanggar norma kesopanan.
Apa yang bisa kita pelajari dari dua model pola asuh itu? Kombinasi gaya mengasuh proksimal dan distal bisa saling melengkapi. Sisi positif keduanya akan membentuk anak yang mampu mengekspresikan diri dan berani, tapi respek terhadap orang tua dan bisa mematuhi peraturan. Yanuar Jatnika