(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Kenapa Harus dengan Hadiah?

Admin disdikpora | 31 Januari 2019 | 544 kali

”Ayah, poinku sudah 25!” teriak Nera.

”Aku juga, Yah!” tambah Zakka.

Saya mendadak menatap Mafi. Saya menunggu dia bersuara seperti adik-adiknya. Melaporkan jumlah poinnya. Tapi, ternyata tidak. Dia hanya diam.

”Mas Mafi, berapa?” tanyaku memancing.

”Mafi sudah gede, Yah. Tidak usah poin-poinan kayak anak kecil saja, Yah,” balas Mafi.

Saya tersenyum senang. Dia telah paham dengan kenyataan dirinya yang telah dewasa. Sekarang sudah kelas enam.

”Ayuk, Yah, beli mainan!” teriak Zakka dan Nera berbarengan.

Saya kaget dan segera memeluk keduanya. Kemudian berbisik, ”Pasti, sore ini kita akan membeli mainan lego. Tapi, sekarang, kalian harus salat Ashar dahulu!”

Nera dan Zakka pun segera berlari ke kamar mengambil sarung dan celana. Kemudian keduanya dengan bahagia pergi ke musala untuk menunaikan salat Duhur.

Gambaran kenyataan yang sering saya dapatkan, saya diberi komentar dengan peringatan oleh orang lain, ”Anak-anak jangan dibiasakan diberikan hadiah dalam kebikannya. Itu nanti berbahaya!”

Jujur, saya lebih percaya bahwa tidak ada salahnya anak-anak diberi orientasi berupa hadiah untuk perbuatan baik yang diidealkan orangtuanya. Bukan untuk mengajari anak untuk berburu hadiah dengan kebaikan, tetapi mengajari anak bahwa:

Pertama, untuk mendapatkan hadiah yang menyenangkan itu membutuhkan perjuangan dan kerja keras dalam kebaikan. Sehingga anak-anak tahu bahwa kerja keras dalam kebaikan adalah hakikat hidup.

Kedua, orangtua akan selalu memberikan apresiasi atas kerja keras anak dalam kebaikannya. Dengan demikian anak-anak meyakini bahwa ayah-ibunya tak akan membiarkan kerja keras dalam kebaikannya sia-sia.

Jadi, hadiah pun bukan pemuas kesenangan dan kesuksesan buat anak. Hadiah adalah apresiasi yang sesuai dengan kenyataan psikologi perkembangan anak.

Setidaknya saya menemukan kenyataan bahwa Nera dan Zakka sangat suka dengan hadiah, tetapi anak saya yang pertama Mafi, sudah kelas enam Sekolah Dasar, menolak dengan tegas dengan hadiah bintang untuk mendapatkan hadiah.

Kata Mafi, ”Berharap hadiah itu seperti anak kecil!”

Pertanyaannya: Apakah sejak kecil Mafi sudah tidak membutuhkan hadiah?

Tentu saja tidak, dulu Mafi sama seperti adik-adiknya, sangat suka dengan hadiah. Selalu menanti dan menuntut hadiah dalam setiap perbuatan baiknya. Tapi, kenapa sekarang menolah diberi hadiah?

Karena Mafi telah tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak yang berpikir maju. Memiliki kesadaran yang berkembang sesuai usia dan pemikirannya. Mafi masih meminta hadiah sebagai bentuk penghargaan orangtua atas capaiannya, tetapi tidak melalui poin yang dikumpulkan.

Jadi poin-poin yang dikumpulkan dalam setiap salat yang telah ditunaikan anak-anakku yang masih kecil merupakan strategi untuk mengondisikan psikologinya. Terutama dalam motivasinya untuk mengerjakan salat. Dan saya merasakan cara ini efektif karena anak-anak mau mengerjakan salat secara baik dan tertib. Dengan hitungan poin yang menyenangkan.

Setelah poin-poin terkumpul sesuai dengan kesepakatan, anak-anak merayakan dengan menukarkannya dengan hadiah yang diinginkan. Hadiah yang sederhana, sebatas mainan seharga puluhan ribu, bisa juga menonton filmu bersama, sering juga makan es krim bersama, atau tamasya bersama.

Tentu saja, tanpa dengan syarat rutin salat, hadiah sebenarnya akan saya berikan pada anak-anak. Tetapi melalui sistem poin dari salat ini saya mendapatan dua kenyataan yang membahagian: anak-anak rajin salat dan bisa merayakan kebahagiaan bersama.

Rasanya kebahagian yang telah kita dapat dengan terlebih dahulu berjuang dan bekerja keras lebih berharga daripada sekadar diberi. Hal ini dirasakan anak-anak. Mereka lebih total dan menikmati hadiahnya atas kumpulan poin yang didapat dari usaha keras dalam kebaikan, yaitu mengerjakan salat.

Dari sinilah, reward untuk sebuah penghargaan dalam sistem pendidikan masih yang sesuai perkembangan anak penting dilakukan. Ini menjadi salah satu strategi penting kita dalam membimbing dan membina anak-anak kita menjadi individu yang memprioritaskan salat sebagai basis kegiatan utamanya.

Tetapkan satu metode atau cara yang akan kita gunakan untuk mengondisikan anak-anak rajin salat. Metode ini yang nanti akan kita gunakan untuk melakukan kontrol diri dan sosial anak dalam menunaikan salat setiap harinya. Salah satu metodenya adalah dengan pemberian reward yang bisa berupa poin-poin untuk ditukar dengan hadiah yang menyenangkan dan disukai anak-anak. Dasari pelaksanaan metode itu dengan hati untuk membelajarkan anak agar menjadi pribadi mulia. (Dian Wahyu Sri Lestari-Guru Kelompok Bermain Wadas Kelir Purwokerto, Penulis buku parenting dan bacaan anak)