Bulan November adalah bulan menulis novel. Sepanjang November banyak orang yang aktif atau mulai menulis novel karena memperingati-merayakan kegiatan atau proyek yang disebut Nanowrimo (National Novel Writing Month). Peringatan itu dimulai di Amerika awalnya, pada 1999. Mereka yang terlibat dalam proyek penulisan ini diajak untuk menulis novel sepanjang bulan November, minimal 50.000 kata.
Di Indonesia, beberapa komunitas menulis juga menyelenggarakan kegiatan atau proyek itu. Tentu hal ini menumbuhkan semangat menulis kaum muda. Mereka jadi tertantang dan mendisiplinkan diri sendiri untuk menyelesaikan sebuah proyek menulis. Ke depan, bila kedisiplinan itu mulai terbentuk di dalam diri mereka, itu akan memudahkan mereka memulai proyek-proyek menulis lainnya secara lebih terencana dan selesai tepat waktu.
Begitulah, kegiatan tulis-menulis makin diminati banyak kalangan. Beberapa murid di sekolah-sekolah yang saya ajar selalu ada yang suka menulis, bahkan ada murid saya yang sudah membuat buku.
Namun, karena pekerjaan menulis identik dengan kesendirian, dukungan dari berbagai pihak pun dibutuhkan, salah satunya orangtua. Orangtua memainkan peran yang sangat penting bagi bertumbuhnya minat dan bakat seorang anak. Dari beberapa buku saya pernah membaca, ada penulis-penulis besar yang lahir karena kepedulian orangtua mereka. Siapa saja mereka?
Stephen King
Rasanya semua penulis akan sepakat dengan saya, mereka tidak pernah melupakan kali pertama mendapatkan uang dari hasil menulis. Begitu juga dengan Stephen King, penulis horor dan misteri kenamaan. Film-film yang diadaptasi dari novelnya pun banyak yang sukses seperti The Shining (1980), Misery (1990), The Shawshank Redemption (1994), atau The Green Mile (1999).
Baca juga : Orang Tua Berperan Membuka Bakat Terpendam Anak
Stephen King bercerita, waktu masih kecil ia suka mengarang cerita tentang seekor kelinci bernama Mr. Rabbit Trick. Mr. Rabbit Trick memimpin empat binatang ajaib yang pergi berkeliling dengan sebuah mobil tua, memberi pertolongan kepada anak-anak kecil.
Stephen menyerahkan cerita itu pada ibunya. Ibunya terkesan dengan apa yang ditulisnya, memberikan pujian setelah benar-benar menyimak ceritanya. Ibunya berkata akan membayar Stephen kecil 25 sen untuk sebuah cerita yang lain.
Ia pun mengarang empat cerita lagi dengan tokoh yang sama. ”Empat cerita. Dua puluh lima sen sebuah. Itulah uang pertama yang kuhasilkan dari bisnis ini,” demikian tulisnya dalam buku memoarnya yang tersohor, On Writing.
Ini bukan soal anak yang mata duitan, atau ibu yang mengajarkan anaknya menjadi mata duitan. Ini justru keberuntungan Stephen kecil memiliki seorang ibu yang menghargai kreativitasnya.
Sidney Sheldon
Saat berumur 17 tahun, Sidney Sheldon berniat bunuh diri. Ia mengalami banyak persoalan yang membuat jiwanya tertekan. Saat hampir berhasil melaksanakan niatnya, ayahnya muncul tiba-tiba. Mereka pun berbicara dan peristiwa bunuh diri itu tak pernah terjadi.
Ayah Sidney mengajaknya jalan-jalan, lalu mengatakan sesuatu untuk menenteramkan batinnya yang kalut: ”Hidup ini seperti novel. Penuh ketegangan. Kau tidak akan pernah tahu apa yang terjadi sampai kau membuka halamannya. Setiap hari adalah halaman yang berbeda dan setiap hari bisa penuh kejutan. Kau tak akan pernah tahu apa yang akan ada selanjutnya sebelum kau buka halaman itu.”
Kata-kata itu menusuk hati Sheldon sangat dalam. Ia sadar dan terperangah. Ia pun memutuskan melanjutkan hidupnya sambil menulis, membuat cerita-cerita.
Namun, jalan kepenulisan yang ditempuhnya tak mudah. Novel pertamanya ditolak lima penerbit. Baru penerbit ke-6 yang mau menerbitkannya. Setelah terbit, banyak ulasan pembaca terhadap novel itu, bahkan novel itu meraih penghargaan bergengsi Edgar Allan Poe Award.
Kesuksesannya terus berlanjut. Tahun 1997, Guinness Book of World Records menyebut Sidney Sheldon sebagai The World’s Most Translated Author (penulis yang karya-karyanya paling banyak diterjemahkan di dunia). Novel-novel yang ditulisnya terjual lebih dari 300 juta eksemplar.
Johann Wolfgang von Goethe
Johann Wolfgang von Goethe disebut-sebut sebagai salah satu filsuf dan penulis terbesar di Jerman, bahkan dunia. Ia beruntung dibesarkan oleh orangtua yang menyayanginya. Kecerdasannya, terutama dalam hal mengembangkan kepekaan dan imajinasi untuk menulis, dipengaruhi ibunya, Katharina Elisabeth, yang suka membacakan cerita untuk Goethe waktu masih kecil.
Ayahnya, Johann Caspar Goethe, seorang ahli hukum, turut mengajari Goethe selain seorang guru privat. Saat berumur delapan tahun, Goethe mulai menulis puisi dan dia menunjukkan ketertarikan pada sastra dan teater sehingga ayahnya rutin mengadakan pertunjukan teater boneka di rumahnya.
Karya sastra yang mendudukkan dirinya sebagai filsuf dan sastrawan dunia adalah dua jilid buku berjudul Faust yang ditulisnya dalam rentang 60 tahun. Faust I diterbitkan tahun 1808, sedangkan Faust II tahun 1832, menjelang akhir hidupnya.
Sebagai ilmuwan, karyanya yang terkenal adalah sebuah buku tentang perubahan warna. Di kemudian hari, buku itu menjadi inspirasi bagi Charles R. Darwin dalam menyusun buku On the Origin of Species.
Kutipan Goethe kini tersebar di mana-mana dan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ia memang jenius, dan dalam salah satu kutipannya, ia berkata, ”Apa pun yang dapat engkau lakukan atau impikan dapat engkau lakukan, lakukanlah itu! Keberanian itu punya kuasa, keajaiban serta kejeniusan di dalamnya.”
Ya, kejeniusannya tak jatuh dari langit. Ia jenius karena rajin belajar, dibesarkan dalam keluarga yang menyukai ilmu pengetahuan.
Itulah beberapa contoh yang kiranya mengilhami para orangtua. Sudahkah kita mengenali bakat atau minat anak-anak kita? Orangtualah yang pertama-tama dapat memahami apa yang disukai anaknya, lalu memberikan yang terbaik untuk mengembangkannya. Dalam dunia kepenulisan, dunia yang identik dengan kesendirian, orangtua pun perlu tampil untuk memberi semangat, mendukung, atau mungkin mengevaluasi perkembangan karya yang ditulis anak-anak.
Kerelaan untuk mendengar dan menyimak apa yang diinginkan anak-anak kian tak mudah ditemui pada orang-orang dewasa di masa kini. Mungkin karena sibuk, kita hanya berinteraksi dengan anak-anak hanya di saat-saat tertentu dan kurang peduli dengan bakat-bakat terpendam mereka. Padahal, bila bakat itu diasah, mungkin suatu hari akan membuat dunia terkagum-kagum. (S. Nugroho - Guru dan penulis lepas, alumnus Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang)