Namanya Ramdhan. Ketika menerimanya di madrasah, kami tahu ada yang ’berbeda’ dengannya. Ucapannya kurang jelas dibanding anak seusianya. Pandangannya tidak fokus, ia juga melakukan hal-hal kurang wajar untuk anak seusianya. Tapi, kami memutuskan untuk menerimanya.
Waktu berjalan, tidak ada perkembangan yang berarti pada Ramdhan. Baik aspek kognitif, psikomotor maupun afektifnya. Ia cenderung menjadi ’pengganggu’ di kelas. Emosinya tak terkendali. Wajah saya pun pernah menjadi sasaran pukulannya menggunakan penghapus papan tulis.
Ramdhan menjadi bahan diskusi para guru setiap hari. Kami meminta orangtuanya untuk berkonsultasi ke psikolog.
Hasilnya, Ramdhan dinyatakan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan direkomendasikan untuk sekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB). Namun, secara psikologis orangtuanya merasa keberatan.
Kami memahami dan memilih jalan tengah. Ramdhan tetap diizinkan sekolah di madrasah kami, tetapi orangtua harus bersedia memberikan pendampingan khusus di rumah dengan memanggil guru SLB.
Di bangku kelas 4, Ramdhan beranjak remaja (usianya 3 tahun di atas rata-rata teman sekelasnya karena berkali-kali tinggal kelas). Persoalan semakin melebar, bukan lagi soal akademik tetapi juga sosial.
Teman-temannya serta wali murid mulai merasa tidak nyaman dengan kehadiran Ramdhan di kelas. Kami memahaminya. Dengan pengetahuan yang terbatas soal ABK, kami terus berdiskusi dengan guru pendampingnya serta mencari informasi dari berbagai sumber. Akhirnya, dengan berat hati kami meminta orang tuanya mengikuti saran psikolog.
Beberapa minggu Ramdhan pindah sekolah. Setiap pagi, masih bercelana pendek dan kaos oblong, ia berdiri di depan gerbang madrasah kami.
Hal yang mengharukan bagi kami, Ramdhan seorang ABK berkata, ”Saya kangen teman-teman dan guru-guru.”
Ramdhan juga mengatakan tidak betah di sekolah barunya. Seringkali ia tidak masuk sekolah.
Dengan berbagai pertimbangan, Ramdhan kembali bersekolah di madrasah kami. Namun dengan tetap bekerja sama guru pendamping khusus secara intensif demi kemajuannya.
Di kelas 6, saya menjadi wali kelas Ramdhan. Banyak sekali persoalan yang saya temui. Tantangan akademik, sosial dan psikologisnya.
Sering saya berdiskusi dengan orangtua Ramdhan. Saya temui titik pasrah orangtuanya. Mereka mempercayakan segala ’urusan’ anaknya pada guru.
Reorientasi Program
Hampir setiap hari saya dan Ramdhan pulang lebih sore untuk menuntaskan pelajaran hari itu. Saya sadari betul mengejar akademik bukanlah tujuan utama.
Saya lakukan reorientasi program untuk Ramdhan. Menanamkan kemandirian, percaya diri, tanggung jawab dan kejujuran menjadi prioritas untuknya.
Saya usahakan menemaninya menyelesaikan tugasnya sampai tuntas, menagih tugas yang telah diberikan. Menanyakan alasan tidak terselesaikan tugas, tentu dengan menghargai kejujurannya. Memberikan konsekuensi logis yang telah disepakati sebelumnya jika Ramdhan tidak melaksanakan tanggung jawabnya.
Perubahan hormonal terjadi pada Ramdhan. Ia mulai ”menggoda” teman-teman perempuan dan menyatakan rasa sukanya dengan terbuka. Anak-anak perempuan merasa sangat tidak nyaman, sedangkan anak laki-laki ribut meledek.
Persoalan seperti ini bukan hal baru bagi saya sebagai guru. Tetapi untuk ABK, secara pribadi saya minim pengalaman dan ilmu.
Berdiskusi dengan guru pendamping dan rekan guru serta mencari informasi dari bebagai sumber selalu saya lakukan. Saya putuskan untuk berbicara empat mata pada Ramdhan. Sejujurnya, saa tidak yakin, tetapi tetap saya lakukan.
Di depan perpustakaan, di selasar sekolah lantai 3, kami berdiskusi. Saya ungkapkan betapa bangga saya terhadap perubahan positif yang telah dicapai Ramdhan. Terhadap usahanya untuk menjadi lebih baik.
Saya sampaikan terima kasih padanya karena telah mendengarkan dan mematuhi nasihat dan segala kesepakatan. Saya sampaikan pula harapan saya terhadapnya menjadi ustadz sesuai cita-citanya. Tidak lupa kuungkapkan rasa kecewaku terhadap sikapnya yang membuat ’kekacauan’ di kelas.
Saya beri Ramdhan kesempatan bicara. Cukup sulit saya cerna karena pengucapan lafalnya yang kurang jelas.
Saya berusaha mengikuti alur perasaan Ramdhan, memberikan arahan, meminta pendapatnya, memintanya memprediksi apa yang akan terjadi jika ia terus melakukan hal tersebut, memberikan penekanan-penekanan pada hal-hal tertentu.
Konsisten dan Kontinyu
Awalnya, berdiskusi dengan Ramdhan sangat sulit, bahkan terasa sia-sia. Tetapi ketika saya melakukannya secara konsisten dan kontinyu, cara ini mulai membuahkan hasil. Sejak itu, diskusi empat mata menjadi cara saya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terkait dengannya.
Hari ini, Ramdhan telah duduk di kelas 8 SMP di sebuah pesantren di Jawa Barat. Usianya 17 tahun. Ia menyalurkan hak pilihnya pada pemilu kali ini.
Ramdhan menyempatkan diri untuk mengunjungi guru-gurunya. Pada Kepala Sekolah, Ramdhan berbisik, ”Bu, ada Bu Cici?” Saya mengetahuinya dari cerita Kepala Sekolah.
Tiap kali bersilaturahim ke sekolah, Ramdhan selalu menanyakan saya. Di hadapan kepala sekolah, ia melantunkan dua ayat Surah Al-Mulk yang telah dihafalnya selain juz 30 yang telah berhasil dihafalnya secara tuntas. Meski makhorijul hurufnya kurang jelas, tetapi suaranya cukup syahdu sampai ke gendang telinga. Kami tersenyum melihat Ramdhan saat ini.
Menghadapi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam atmosfer heterogen bukan hal yang mudah. Terbatasnya ilmu dan kemampuan yang dimiliki guru sekolah umum menjadi tantangan tersendiri. Bekerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki kompetensi di bidangnya seperti psikolog dan guru SLB sangatlah membantu.
Membangun komunikasi intens dengan guru-guru yang pernah menangani ABK sebelumnya serta orangtua dapat memberikan informasi lebih bagi wali kelas untuk memodifikasi metode-metode menghadapi ABK sesuai dengan karakternya. Tidak lupa memberi pengertian kepada siswa serta wali murid lain untuk menerima kondisi ABK berada dalam kelas.
Pihak sekolah dan keluarga harus bekerja sama secara solid dan sungguh-sungguh. Karena ABK berhak ada di tengah-tengah kita dan berhak memiliki masa depan. (Sri Rahayu - Guru MI Al-Falah Jakarta. Foto: Fuji Rachman)