Seperti biasa, aku bangun pagi dan melaksanakan salat subuh. Lalu, kuraih HP-ku untuk sekadar melihat kabar terbaru dari grup sosial media. Tak seperti biasanya, grup WhatsApp wali murid sekolah anakku terlihat ramai. Ada puluhan chat yang belum kubaca.
Setelah kubuka, ternyata ada seorang wali murid yang mengadukan keadaan anaknya. Terlihat jelas gambar lengan anaknya yang lebam membiru. Seperti bekas digigit.
Grup WhatsApp yang biasanya tidak terlalu ramai dengan chat itu menjadi riuh. Tidak hanya guru yang berkomentar. Tetapi juga para wali murid.
Aku terkejut dan merasa heran. Mengapa hal itu bisa terjadi? Bukankah di sekolah TK itu banyak gurunya? Belum selesai rasa kagetku. Ternyata yang menjadi pelaku adalah anak laki-lakiku sendiri. Tertulis jelas di pesan ortu teman anakku itu. Bahwa menurut pengakuan anaknya, yang melakukan adalah Abdel, anakku.
Aku pun menyusun langkah untuk mengambil tindakan yang tepat. Karena bagaimana pun anakku masih sangat belia. Masih TK. Aku khawatir bila salah mengambil tindakan, maka akan dapat mempengaruhi psikologisnya.
Sebagai orangtua, aku merasa khawatir. Apa benar anakku yang melakukan? Pertanyaan itu muncul dalam benakku. Juga pertanyaan lainnya. Jika memang benar, mengapa ia melakukan itu?
Aku hampiri anakku yang sedang bermain ponsel. Kutanya dengan nada lembut. ”Del...apa benar kamu yang menggigit Fera?”
Mendengar pertanyaanku, sejenak dia berpikir. Lalu sambil menggelengkan kepala, ia mengatakan, ”Tidak, Bu. Aku tidak menggigit Fera. Aku hanya menggigit Ramdhan.”
Meski lega dengan jawaban itu tapi aku tetap masyghul. Karena ternyata anakku ini suka menggigit temannya. Meski tidak menggigit Fera, ia menggigit temannya yang lain.
Namun, aku terus berusaha memastikan. Aku menanyainya beberapa kali. Jawabannya tetap sama. Katanya ia tidak menggigit Fera.
Kukatakan di grup WhatsApp wali murid permintaan maaf kepada ortu Fera. ”Sebagai orangtua Abdel, saya minta maaf apabila memang itu dilakukan anak kami. Tapi baru saja kami menanyakan kepada anak kami tersebut. Namun ia menjawab tidak menggigit Fera.”
Lalu salah seorang guru menanggapi, ”Terima kasih Bunda atas informasinya. InsyaAllah nanti kami akan mengonfirmasi kepada masing-masing anak.”
Demikian percakapan di grup itu akhirnya berakhir. Namun aku masih waswas. Aku khawatir kalau anakku menutupi kelakuan buruknya dariku. Sekali lagi aku bertanya. Namun jawabannya tetap sama. Anakku tidak melakukan perbuatan itu.
Jam menunjukkan pukul enam pagi. Seisi rumah sudah bersiap-siap menuju sekolah. Kedua anakku yang sudah SD sudah selesai mandi dan sarapan. Begitu juga dengan Abdel yang masih TK. Namun, dengan wajah cemas ia berkata, ”Bu, aku tidak sekolah ya?”
”Mengapa?” tanyaku.
Ia menjawab, ”Aku takut nanti dimarahi ibunya Fera.”
”Kalau kamu tidak menggigit Fera, mengapa harus takut sayang? Ayo berangkat, ya. Nanti ibu yang antarkan. Di sekolah kan ada ustadzah. Nanti kalau dimarahi ibunya Fera, Abdel bisa bilang ke ustadzah bahwa Abdel tidak menggigit Fera.” Kataku membujuk Abdel agar mau berangkat ke sekolah.
Syukurlah akhirnya Abdel bersedia berangkat ke sekolah. Seperti biasa, aku mengantarnya hingga ke depan kelasnya. Sebenarnya aku ingin berbicara dengan ustadzahnya. Tetapi karena aku sendiri takut terlambat, akhirnya kuurungkan niatku.
Sepulang sekolah, dengan wajah ceria Abdel bercerita, ”Bu, aku minta maaf ya? Aku memang menggigit Fera.”
”Bener kamu yang menggigit?” tanyaku, kaget.
”Iya, Bu. Tadi ustadzah mengajak aku dan Fera mengobrol bertiga. Lalu aku ditanya sama ustadzah. Terus aku mengaku deh. Lalu ustadzah suruh Abdel bilang ke Ibu.”
”Ya, sudah kalau begitu. Abdel jangan suka menggigit temannya lagi. Dan juga harus jujur ya, Nak?” ujarku lirih.
Aku menjadi penasaran. Tadi pagi ketika kutanya, Abdel tidak mengaku. Tetapi setelah di sekolah, dia mengaku di depan ustadzahnya. Akhirnya aku mencoba bertanya ke ustadzahnya. Apa kiat yang dilakukan agar anak bisa mengaku.
Ternyata sederhana. Sebelum bertanya, ustadzah mempertemukan kedua anak itu. Anakku dan temannya yang digigit, Fera. Setelah kedua anak duduk bersama, ustadzah mengajak mereka berdua mengobrol seperti tidak ada apa-apa. Hingga setelah prolog itu, kedua anak sama-sama tersenyum dan tertawa.
Sampai tibalah ustadzah memancing percakapan pada bekas lebam di lengan Fera. Tanpa diduga, Abdel secara terus terang mengatakan bahwa itu kemarin dia yang menggigitnya. Ustadzah kemudian menyuruh Abdel untuk meminta maaf kepada Fera. Juga menyuruh Abdel untuk meminta maaf kepadaku dengan mengatakan yang sebenarnya.
Mungkin tadi pagi aku bertanya dengan nada yang menuduh. Sehingga Abdel pun merasa menjadi tersangka dan tersudut. Selanjutnya dia meresponsku dengan menutupi kenyataan yang sebenarnya.
Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari peristiwa itu. Pertama, hendaknya kita berbicara dengan santai dan dengan nada yang tenang. Dengan begitu anak kita akan merasa tidak terancam.
Kedua, hendaknya sebisa mungkin kita tidak bertanya dengan nada yang terkesan menuduh anak. Tunjukkan bahwa kita ingin agar anak kita menjadi anak yang baik dan jujur. Sehingga dengan sendirinya anak akan berbicara dengan sejujurnya.
Yang ketiga, terakhir namun tidak kalah pentingnya, hendaknya kita menanamkan jiwa kejujuran kepada anak. Caranya adalah menghargai setiap kejujuran anak, meskipun itu adalah perbuatan yang kurang benar. Kejujurannya kita puji dan hargai. Sedangkan perbuatan salahnya kita perbaiki dengan nasihat. Dengan begitu anak akan merasa tidak berada dalam posisi tertuduh. Anak akan merasa nyaman dan menghargai nilai-nilai kejujuran.
Demikianlah ketika berbicara dengan anak di bawah umur. Kita terkadang masih perlu banyak belajar tentang cara berkomunikasi yang tepat. Sehingga anak kita menjadi lebih terbuka pada kita sebagai orangtuanya. (Badrul Munir - Pendidik di SMPN 5 Sampang).