Semua manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Apalagi anak usia dini. Pada usia 4-6 tahun, anak sudah bisa melakukan banyak hal. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan apa yang sedang atau telah dilakukan anak-anak kita tersebut termasuk kategori salah atau kurang pantas.
Apabila hal itu yang terjadi, maka sebagai orang tua, kita tidak harus serta merta memarahi anak, apalagi sampai menganggap dan memberikan cap kepada anak-anak bahwa mereka anak yang tidak baik. Sebaliknya, dalam masa coba-coba ini (trial and error), yang perlu kita lakukan adalah memberikan arahan, bimbingan, dan khususnya keteladanan yang baik.
Saat kita memarahi anak-anak, mereka akan takut, dan malah menyembunyikan kesalahan yang dilakukan tersebut, dan jangan berharap mereka berpikir untuk meminta maaf.
Oleh karena itu, saat anak-anak kita melakukan kesalahan, langkah-langkah berikut sebaiknya kita lakukan, sehingga selain menyadari kesalahan, anak kita pun akan dengan tenang dan penuh kesadaran akan meminta maaf atas kesalahan tersebut.
Pertama, saat anak melakukan kesalahan, kita harus mendekatinya dengan hati yang tenang dan senyum yang tulus. Kemudian, kita tatap matanya dan berkata dengan nada suara yang rendah namun tetap bisa didengarkan oleh anak-anak kita. Misal kita bisa bertanya, “Kakak, yang barusan dilakukan itu ada manfaatnya tidak? Coba, ayah ingin tahu, apa sih manfaatnya?”
Pertanyaan yang tidak menghakimi ini akan membuat kita bisa berpikir tenang sekaligus mengevaluasi apa yang sudah dilakukan. Apabila anak kita ternyata menyebutkan bahwa yang dilakukan tersebut tidak ada manfaatnya, barulah kita memberikan arahan dan bimbingan tentang apa yang seharusnya dilakukan, dan apa saja manfaatnya.
Kedua, kita harus memiliki sudut pandang yang benar tentang kesalahan anak. Maksudnya, bisa jadi kesalahan yang dilakukan anak sebenarnya merupakan usaha anak untuk mengeksplorasi bakat terpendamnya. Hanya karena si anak belum bisa melakukannya sesuai dengan gagasan besarnya, maka terjadi kesalahan. Pada titik ini, kita patut bangga saat anak melakukan kesalahan, karena anak kita sedang melakukan eksperimen.
Terkait dengan hal seperti ini, kita perlu bertanya kepada anak tentang “apa yang sedang dikerjakannya”. Perlu disampaikan pula bahwa saat bertanya, jangan sampai kita bernada marah atau bernada tingi, sebab, sekali lagi, bisa jadi anak kita memang belum tahu. Misal dengan kita bertanya, “Adik, apa sih yang sedang dilakukan? Apa yang bisa ayah bantu?” Pertanyaan tersebut sangat membesarkan hati anak, dan ini sangat penting.
Pertanyaan di atas menunjukkan sebuah empati dan sekaligus penghargaan terhadap potensi anak-anak kita. Maka tidak heran, anak akan dengan semangat mengatakan bahwa mereka melakukan ini-itu. Anak kita pun malah menjelaskan panjang lebar gagasan dan impian besarnya.
Setelah itu, dengan tawaran bantuan dari kita, anak kita akan semakin bangga, segan, dan sekaligus nyaman dengan kita sebagai orang-tuanya. Dalam hal ini, kita pun harus jujur. Apabila kita memang bisa membantu, mari kita meluangkan waktu untuk membantunya. Apabila ternyata kita belum bisa, kita harus menunjukkan usaha kita. Misal bertanya kepada teman, tetangga, atau berselancar di internet.
Sikap kita yang penuh perhatian tersebut membuat anak akan semakin “merasa dekat” dengan kita. Jika nanti anak-anak kita melakukan kesalahan, maka tanpa kita minta, anak-anak ini akan mengakui kesalahannya, dan kemudian meminta maaf atas kesalahan tersebut. (Asef Umar Fakhruddin, dosen Prodi PG-PAUD IKIP Veteran Semarang dan penulis buku-buku tentang pendidikan dan pengembangan diri)