”Aku nggak mau ikut futsal lagi, Ma. Masak pelatihnya bilang permainanku kurang bagus,” keluh Rafa sepulang latihan futsal. Padahal baru kemarin ia kesal pada Fadhil, kawannya, yang mengkritiknya saat presentasi. Juga pada Shela yang mengatakan hasil karyanya buruk.
Beranjak remaja, anak-anak menjadi lebih sensitif. Sebelumnya, di usia kanak-kanak cenderung meminta dikomentari atas apa yang akan dan sudah mereka kerjakan, mereka kenakan ataupun mereka miliki. Tapi di usia remaja, mereka terkesan ’alergi’ terhadap komentar terutama komentar negatif. Bahkan sebagian besar tawuran remaja dipicu oleh komentar negatif pada hal-hal sepele.
Komentar bisa berasal dari mana saja, dari guru, teman, saudara bahkan dari orang yang tidak dikenal sekalipun. Remaja kita tidak bisa memilih siapa yang berhak mengomentari mereka. Maka, menajemen diri dalam menanggapi komentar negatif menjadi perlu dimiliki oleh para remaja agar tidak terjebak pada konflik yang tidak perlu.
Sebagai orang yang paling dekat dengan anak, orangtua memiliki kewajiban membimbing remaja agar mampu mengelola diri dalam menanggapi komentar negatif yang ditujukan pada dirinya. Karena tidak seorang pun akan lepas dari komentar, baik yang membangun maupun yang menjatuhkan sekalipun.
Bagi orangtua yang memiliki anak beranjak dewasa, kepekaan menjadi hal yang sangat diperlukan. Ketika mood anak mulai berubah dalam menyikapi sesuatu, ajaklah bicara.
Jika mood mereka turun akibat kritik atau komentar negatif responslah dengan cepat, jangan biarkan berlarut-larut. Mintalah si anak menceritakan kronologi kejadian yang sebenar-benarnya. Jadilah pendengar yang baik hingga mereka menyelesaikan cerita bahkan menumpahkan kekesalannya.
Bimbing anak-anak kita mengintrospeksi diri. Misalnya, saat si anak kesal karena temannya mengatakan dirinya ”sok pintar” atau ”payah” dan sebagainya, galilah informasi, mengapa temannya bisa mengatakan hal seperti itu.
Orangtua harus bijak dalam meresponnya. Ajak mereka mengintrospeksi diri, bisa jadi penilaian temannya ada benarnya.
Orangtua bisa memberi motivasi pada anak untuk memperbaiki diri. Memberikan pengertian bahwa komentar negatif yang dilontarkan temannya adalah sesuatu yang harus disyukuri karena telah bersedia menjadi reminder sehingga sifat buruk yang dimilikinya tidak berkepanjangan.
Carilah sudut pandang lain. Jika si anak merasa komentar negatif yang dilontarkan padanya mengada-ada dan tidak benar sehingga merasa berhak marah, orangtua harus bisa mengalihkan pada sudut pandang lain. Tanamkan pada diri anak bahwa jika sesuatu yang ditujukan padanya tidak benar, tidak perlu dipermasalahkan karena mereka hanya perlu membuktikan.
Tariklah sudut pandang anak kita bahwa ada hal-hal positif yang belum bisa temannya lakukan. Maka teruslah beri contoh positif hingga si pelontar komentar negatif terinspirasi pada hal positif yang terus dilakukannya.
Sebagai contoh ketika anak kita mendapat julukan ”si tukang caper (cari perhatian) guru.” Setelah kita gali ternyata ia meyakinkan bahwa itu tidak benar, maka tanamkan pada anak untuk tidak mempermasalahkan sesuatu yang memang tidak benar.
Beri sudut pandang lain. Guru memberi perhatian pada si anak karena memang berprestasi atau hal positif lain. Maka jangan pernah berhenti untuk memberi contoh pada orang lain dan buktikan bahwa perhatian guru memang layak didapatkannya.
Jika komentar negatif berasal dari dunia maya, mintalah anak untuk membatasi penggunaan media sosial. Gunakan fasilitas internet seperlunya saja.
Saat kondisi tidak memungkinkan untuk memberi bimbingan, ingatkan pada anak, ketika merasa sedih, kecewa, kesal dan sebagainya, bersikaplah tenang dan segeralah berwudhu. Buatlah wudhu menjadi cara pertama paling mujarab untuk meredam emosi dan jadikanlah ini sebagai kebiasaan.
Melatih mengelola diri untuk remaja tentu bukanlah hal instan yang dengan cepat dapat dipetik hasilnya. Perlu kesabaran, keseriusan serta ketelatenan orangtua agar anak-anak tidak mudah terpancing pada komentar negatif yang tertuju pada mereka. Sehingga konflik antar remaja tidak lagi terjadi. Dan semua itu berasal dari rumah. (Sri Rahayu – Guru MI AL-Falah UM Jakarta. Foto: Fuji Rachman)