Saya pulang dari kantor dalam keadaan capek yang akut. Masuk rumah mendapatkan kenyataan yang seketika membuat marah menguasai hati dan pikiran saya.
Rumah berantakan penuh dengan mainan dan sampah kertas. Anak-anak sedang berlari dan berteriak-teriak sambil bermain lempar-lemparan mainan dan kertas. Keila (2), anak bungsu saya menangis terkena lemparan mainan kakaknya, tetapi kakak-kakaknya membiarkan saja. Terus berlarian dan lempar-lemparan. Semuanya benar-benar sudah diluar yang seharusnya.
Pertanyaannya: Dalam keadaan demikian apa yang harus saya lakukan? Seketika pikiran saya berkerja cepat memprediksi tiga tindakan penting yang bisa saya lakukan dengan analisis dampak-dampaknya.
Pertama, karena menurut saya perbuatan anak-anak sudah keterlaluan, maka semua itu harus dihentikan seketika. Saat itu, saya pun bisa langsung membentak dan berteriak, ”Hentikan!” Kemudian memarahi pada anak-anak.
Saya yakin seketika anak-anak akan diam dan menghentikan kekacauan. Masalah pun terselesaikan dengan seketika. Dan anak-anak, tidak akan mengulangi kekacauan ini. Saya pun bisa tenang.
Tapi, hal ini akan memberikan dampak psikologis yang tidak baik bagi anak-anak. Mereka akan merasa bersalah pada saya.
Lebih buruk lagi jika sampai merasa bersalah pada dirinya sendiri yang terlalu dalam. Ini akan memberikan dampak penyesalan dan ketakutan yang membuat naluri inisiatifnya mati. Kelak, jika anak ingin melakukan suatu kegiatan bermain yang ekspresif, anak akan menghentikannya karena trauma dengan kejadian ini. Ini tentu tidak baik bagi anak-anak.
Atau, tindakan ini juga akan memberikan pemahaman keliru pada anak: Jika ada hal yang kacau, maka berteriak dan marahlah, hentikan! Seperti yang dilakukan ayah hari ini.
Ini juga hal yang tidak baik karena pola penyelesaian kekacauan dengan kemarahan sangat tidak baik bagi perkembangan anak. Akan menimbulkan dampak traumatik yang tidak baik.
Kedua, saya bisa melakukan tindakan dengan membiarkan saja. Kekacuan ini bagian dari kegiatan kreatif anak-anak, jadi sudah sewajarnya dibiarkan saja. Nanti juga akan berhenti sendirinya.
Terus pertanyaannya: Apakah kita harus membiarkan si bungsu menangis tanpa mendapat pertolongan kakaknya? Apakah kita akan membiarkan anak-anak bermain yang sangat berisiko untuk keselamatan anak sendiri?
Dari sinilah, jika itu semua dibiarkan, maka akan memberikan satu pesan pada anak-anak bahwa apa yang dilakukannya itu benar. Melempar adiknya dengan mainan dan membiarkan itu boleh. Bermain lempar-lemparan mainan yang membahayakan itu boleh. Membuat rumah berserakan mainan dan kertas itu boleh.
Buktinya, ayah tidak marah apalagi melarang. Ini akan membetuk kesadaran anak yang demikian, yang tentu saja meruapakan kesadaran yang salah, tetapi dibenarkan karena sikap orangtuanya yang membiarkan.
Ketiga, saya muncul gagasan yang menurut saya tepat saat itu. Ya, saya berteriak keras mengekspresikan marah, dan meminta anak-anak untuk melindungi adiknya dan tidak lempar-lemparan lagi.
Seketika anak-anak pasti berhenti, dan saat itu saya masuk kamar. Saya membiarkan anak-anak diam beberapa saat dan saling pandang untuk berpikir kenapa saya mendadak melakukan itu.
Di kamar saya harus menenangkan diri. Saya harus keluar dengan tanpa marah. Saat keluar saya mengajak anak-anak untuk berdiskusi.
Saya akan mengatakan, ”Nak, maafkan ayah tadi marah. Ayah marah karena, coba lihat, adik kalian menangis, kertas dan mainan berserakan, dan kalian lempar-lemparan mainan yang berbahaya. Apakah menurut kalian salah ayah marah?”
Anak pasti akan diam dan saling padang, sebelum kemudian menggelengkan kepala setuju dengan sikap ayahnya. Setelah anak-anak menyadari bahwa yang dilakukannya salah mengajak membersihkan ruangan. ”Ayo, kita bersihakan bersama ruangan ini. Dan segera kita menolong adik.”
Di sini anak-anak akan belajar atas sikap kebesaran hati ayahnya. Anak-anak pun memahami bahwa marah atas kekacauan itu boleh, tetapi selepas marah bicaralah baik-baik, dan selesaikan persoalan bersama-sama. Tidak ada dendam dan kecewa di sini, yang ada adalah sikap tegas dalam kebersamaan yang indah.
Sikap ketiga inilah yang penting dan harus kita lakukan saat simulasi kekacauan yang membuat kita sebagai orangtua harus marah. Marah atas ketidak setujuaan kita terhadap sikap anak harus ditegakkan, tetapi mengekspresikan marah harus dalam konteks pendidikan yang tepat pada anak. Cara ketiga di atas menjadi salah satu cara yang baik dalam mengatasi kakacauan anak-anak yang memberikan dampak marah pada orang tua. (Heru Kurniawan - Dosen IAIN Purwokerto, Founder Rumah Kreatif Wadas Kelir)