Masa remaja, masa pencarian jati diri, jadi jangan heran jika anak berubah-ubah cita-citanya. Salah satu anak saya, memiliki banyak talenta, kuat di bidang seni. Dia membeli cat minyak, kanvas dan kamarnya penuh dengan lukisan yang tidak selesai.
Beberapa waktu kemudian, dia ganti hobby; kolase, paper craft dan hal serupa, koleksi aneka jenis kertas dan kamarnya penuh dengan karya yang tidak selesai.
Hobby dan talentanya pun berganti lagi, kali ini fashion. Kamarnya penuh dengan tempelan kliping ataupun print dari internet, berbagai foto model dengan berbagai top design dari seluruh bumi yang dia download dari internet. Ia mulai mengambar design baju, ingin mewujudkannya membeli bahan kain, memotongnya dan tidak menyelesaikan.
Hobby dan talentanya banyak, berganti-ganti dan semuanya tidak tuntas, tidak selesai, ‘un-finnish’.
Hobby tidak murah, namun tidak ada yang selesai, akhirnya kami konseling dengan seorang psikolog keluarga kami, dan sarannya tidak jauh dari tema kita, jadilah sahabat bagi anak, khususnya saya sebagai ayahnya.
Ketika figur ayah adalah pribadi yang jauh, ada rasa gelisah, tidak aman (in secure) pada anak, dan itu muncul dalam bentuk perilaku yang ‘un-finnish’. Jadi rupanya sikapnya selama ini, karena saya bukanlah ayah seperti yang dia harapkan.
Kami mulai program ‘hati bapa kembali kepada anak’. Kami menjadwalkan sepeda bareng, mengantar ke outlet, jalan-jalan ke Mall, dating dengan anak, menjadi sahabat anak.
Hasilnya, sekarang lukisannya selesai, baju karyanya selesai dijahit, bahkan laku dijual ke temannya, paper-carftnya menghiasi dinding rumah kami menjadi frame foto yang artistik. Anak memerlukan persahabatan dengan orang tuanya, sehingga jati dirinya diisi oleh figur orang tua, merasa aman dan ‘finnish’. *Jarot Wijanarko, pendiri Happy Holy Kids (www.happyholykids.com), lembaga pendidikan anak usia dini