Pernah Anda melihat tentara baris-berbaris? Apa yang paling sering terdengar? Ya, aba-aba! Pasukan bergerak dengan tertib, tatanan rapi, derap kaki pun sesuai dengan komando. Apakah cara itu bisa diterapkan kepada anak-anak?
Perlu disadari, formula disiplin untuk masing-masing anak ternyata sangat khas dan unik. Misalnya, orangtua tidak bisa memakaikan untuk tiap-tiap anak sepatu yang sama, sedangkan ukuran kaki mereka berbeda.
Yang diperlukan adalah pola komunikasi yang baik. Sehingga orangtua bisa menemukan corak disiplin yang paling pas untuk anaknya.
Di keluarga saya memiliki dua adik. Satu sudah beranjak remaja, satu masih sekolah dasar. Ibu bisa dengan santai namun lugas mengingatkan kesalahan bungsu di hadapan saya. Salwa, si bungsu itu tertawa manja sambil merangkul ibu. ”Maaf, Ibu… tadi nggak sengaja.” Ibu menyambutnya dengan usapan sayang di kepala Salwa.
Tetapi ketika anak yang menginjak remaja melakukan kesalahan yang nyaris sama, Ibu berpamitan sejenak kepada saya. Samar-samar, saya dengar dia memberi nasihat dengan suara rendah dan halus. Tak terdengar respons dari adik saya. Mungkin dia hanya mengangguk.
Di kesempatan lain saya bertanya kepada ibu, mengapa memperlakukan anak-anaknya secara berbeda. Jawaban sederhana mengena di hati, ”Karena model anaknya juga berbeda.”
Ternyata anak bungsu aktif bicara, lugas, terbuka, dan senang bercanda. Dia cenderung bersikap mesra dengan ibu. Sebaliknya, kakaknya lebih pendiam, pemikir, cenderung tertutup, dan bersikap lebih tenang. Hanya perlu satu kali peringatan, dia akan ingat, dan mematuhinya, asal dilakukan dengan baik-baik dan tidak di depan orang lain.
Yang sedang kita bangun adalah disiplin bersikap. Tujuan besarnya adalah memberikan kemampuan sekaligus kekuatan kepada anak-anak untuk selalu memilih yang benar ketika ada banyak pilihan.
Disiplin bertujuan membangun sikap percaya diri, dan karena itu, sejak awal harus melibatkan anak-anak ketika menetapkannya. Mereka adalah subjek yang harus yakin bahwa disiplin ini didesain untuk kepentingan mereka.
Banyak anak yang menyimpan rasa kesal bahkan dendam karena menganggap disiplin sebagai alat pangkas. Sebagai pelindung kepentingan orangtua, bukan kepentingan anak.
Jadi, aturan dalam keluarga bisa sama dan berlaku untuk semua anggota keluarga. Setelah disepakati, dan dijelaskan alasannya, aturan ini wajib ditegakkan. Roh dari disiplin adalah konsisten. Hanya cara menerapkannya disesuaikan karakter anak. Pilihlah intonasi adalah waktu yang pas saat menyampaikannya. Ada anak yang santai saat diingatkan, tetapi ada anak pula yang sensitif. Itu yang namanya berbeda kaki, berbeda sepatu.
Namun ketahuilah, disiplin yang diterapkan secara represif, seperti sindiran tajam, ucapan kasar, teriakan, atau julukan buruk, akan merusak konsep diri anak. Yang terjadi adalah hilangnya rasa hormat kepada diri sendiri dan orangtuanya. (Nur Hafidz-Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Purwokerto, Jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini, Relawan Rumah Kreatif Wadas Kelir)