Di tengah maraknya isu penculikan, beberapa waktu yang lalu masyarakat Purwokerto dihebohkan oleh sebuah pemberitaan tentang penculikan anak. Kronologisnya, seorang anak melaporkan bahwa kakaknya telah diculik oleh seseorang. Dia menceritakan kepada orang-tuanya bahwa kakaknya diculik di jalan ketika mereka hendak pulang. Maka tak pikir panjang, orang-tuanya segera melapor ke polisi. Pihak polisi pun segera bergerak membantu menanganinya.
Setelah polisi menghimpun keterangan dari saksi, yakni sang adik, ternyata diperoleh kesimpulan bahwa kasus itu merupakan kasus bohong atau rekayasa. Hasil pendalaman polisi akhirnya dapat membongkar kasus yang sebenarnya. Bahwa telah terjadi rekayasa laporan penculikan yang didalangi oleh kakaknya sendiri. Motifnya adalah sang kakak takut dimarahi orang-tuanya, karena ia pulang terlalu malam setelah bermain.
Kasus di atas menarik untuk dibahas lebih lanjut. Bukan masalah penculikannya, tetapi lebih dari itu justru masalah rekayasa atau pembohongan itu yang perlu diperhatikan. Yang lebih menarik lagi adalah motivasi laporan palsu itu karena adanya ketakutan anak terhadap orang tua. Sebab masalah itulah yang sebenarnya menjadi akar rumput dari kasus tersebut.
Anak berbohong hingga menyampaikan laporan palsu ke pihak berwajib yang telah membuat sibuk polisi, ternyata hanyalah salah satu efek jelek dari sebuah sikap orang tua. Terlepas dari masalah benar atau salahnya si anak, yang harus direfleksi adalah masalah sikap orang tua dalam menghadapi anak-anak itu. Anak-anak tak akan berbohong, kecuali karena adanya keterpaksaan. Dalam hal ini si anak terpaksa berbohong, karena ketakutan dimarahi orang- tuanya. Artinya, keberanian berbohong anak lebih disebabkan karena ketakutan mendapat amarah dari orang tua.
Mengapa anak menjadi berani berbohong? Itulah pertanyaan yang mesti dilontarkan kepada segenap orang tua. Pembohongan oleh anak yang terjadi di Purwokerto itu akibat ketidakberanian anak untuk berterus terang. Mengapa anak takut berterus terang?
Ada beberapa penyebab, antara lain pertama, adanya pengalaman yang tidak menyenangkan yang diperoleh anak dari sikap orang tua. Mungkin mereka sering dimarahi, walau hanya melakukan kesalahan kecil. Orang tua sering berpikir anak tidak boleh melakukan kesalahan. Ketika melihat anaknya keliru mengikat tali sepatu, ia mencemooh. Ketika anak salah memasang baterai pada mainannya, orang tua memarahinya juga. Keliru berbicara juga disalahkan. Bahkan ketika si anak terjatuh saat bersepeda, pun bisa-bisa dipersalahkan. Bukannya anak diajari, tetapi justru dia terus-menerus dipersalahkan. Akibatnya anak akan menjadi ragu dan takut, termasuk takut mengatakan secara jujur.
Kedua, anak takut terkena hukuman. Anak-anak yang melakukan kesalahan seringkali akan mendapat hukuman. Hukuman itu bisa ringan, bisa juga berat. Dimarahi, didenda, dibentak, bahkan ada juga yang dihukum secara fisik. Ini mengakibatkan rasa takut yang berlebihan. Anak akan merasakan hukuman itu menjadi hantu. Akibatnya mereka sering menutupi kekeliruannya dengan kebohongan.
Ketiga, kebohongan anak juga bisa karena pengalaman empiris dari orang tua sendiri. Tak sadar seringkali orang tua berbohong di depan anak, yang sebenarnya berpotensi akan ditiru anak. Orang tua sering mengatakan tidak mempunyai uang saat sang anak meminta dibelikan sesuatu yang tidak ia setujui, padahal pada saat yang bersamaan, orang tua bisa membeli sesuatu yang lain. Ini tentu membuat anak melihat bahwa orang tua telah berbohong. Selanjutnya anak akan menjustifikasi bahwa berbohong itu biasa.
Keempat, anak memiliki pikiran bersalah, tetapi ia tidak mempunyai solusi. Ini juga karena orang tua dianggap tidak bisa memberi solusi. Atau kalau mempunyai solusi pun, orang tua tidak membantu tetapi justru menghukum. Akibatnya anak memilih berbohong demi keamanannya.
Kelima, tak sedikit orang tua yang merasa berbahagia, meski si anak sesungguhnya tengah berbohong. Anak yang sering dituntut untuk menjadi hebat dalam segala hal, akan memiliki kecenderungan berbohong lebih besar. Ia sering berbohong, karena ia tak mampu memenuhi tuntutan orang tua, sementara ia tak bisa menolak. Tekanan orang tua itulah yang akan menyebabkan kebohongan.
Keenam, adanya perasaan anak tidak dihargai. Pengakuan anak yang jujur justru seringkali tidak dihargai. Ketika anak mengatakan ulangan matematikanya di sekolah mendapatkan nilai jelek karena dia bingung, orang tua sering marah-marah. Alih-alih memberi semangat atau motivasi, orang tua memarahinya. Bahkan ketika anak memperoleh nilai 9 dan bukan10 pun, anak tetap dimarahi dan tidak dihargai. Maka ketika anak kemudian tidak mengatakan yang jujur, lantas siapa yang disalahkan?
Jadi bagaimana seharusnya? Dengarlah anak ketika ia akan mengatakan yang sejujurnya. Berilah ia penghargaan ketika anak mengatakan yang jujur, meski itu sebuah kesalahan. Jangan membentaknya, menyalahkannya, dan tak mendengarkan pendapatnya. Jangan sampai anak menjadi merasa tak berguna berkata jujur kepada orang tua. Hal yang paling parah, jika si anak kemudian menjatuhkan pilihannya untuk selalu berbohong demi mengamankan dirinya. Itu hal terburuk yang tidak diinginkan oleh siapapun. (Riyadi, pendidik di SDN 1 Kediri Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas, pegiat literasi di KOMPAK)