Ada satu peristwa yang menarik saat saya mengadakan lomba permainan tradisional dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional 23 Juli 2018 yang lalu. Saat anak-anak asyik lain mengikuti berbagai kegiatan permainan lomba tradisoanl, ada satu anak yang berdiam diri, memegang erat tangan saya, dan bersembunyi sambil mengintip-ngintip di belakang lengan. Karena penasaran, akhirnya pun saya bertanya pada anak tersebut.
”Mas Echy, kenapa? Kok nggak ikutan main?” tanya saya.
”Enggak, Kak,” jawab Echy anak yang baru berusia sekitar dua tahun.
Saya lanjutkan bertanya, ”Apa ada teman yang nakal?”
”Bukan,” jawabnya. ”Lalu, apa dong?” tanya saya penasaran.
Dengan suara pelan dia menjawab, ”Echy takut, Kak”
”Takut sama siapa? Apa ada teman yang tidak mengizinkanmu ikut bermain?” saya penasaran.
”Itu Kak,” jawabnya sambil menunjukkan tangan mengarah ke sebuah balon.
”Kamu takut balon?” tanya saya kemudian. ”Iya, Kak.”
Saya langsung menatap wajahnya dan memeluknya. Sesekali saya mencoba mendekatkan balon padanya. Echy merespons dengan memeluk sangat erat dan menjerit ketakutan.
Akhirnya saya mencoba bertanya pada ibunya. Ternyata Echy pernah mengalami kejadian balonnya meletus saat bermain dengan kakaknya. Sehingga dia trauma terhadap suara letusan balon. Setelah kejadian itu, melihat balon dari jauh saja sudah memeluk ibunya. Jika balon di dekatkan, dia menangis dan teriak-teriak.
Dari sini kita menjadi tahu bahwa Echy mengalami glophobia, takut terhadap balon. Glophobia biasanya terjadi karena sebuah kejadian yang sangat mengejutkan atau menimbulkan ledakan emosi yang berlebihan, seperti rasa takut yang akut.
Selain itu dalam tahap perkembangan anak, usia dua tahunan merupakan masa-masa anak cenderung memiliki rasa takut yang tidak masuk akal. Pemicunya, anak belum mencapai kematangan berpikir.
Mengapa bisa demikian? Sebelumnya kita perlu tahu bagaimana pikiran seorang anak bekerja. Misalnya, saya masih ingat betul saat sedang berada di bangku sekolah, tiba-tiba tanpa persiapan apapun, saya dipanggil oleh guru Bahasa Indonesia untuk maju ke depan kelas.
Apa yang saya rasakan saat itu? Terkejut, keringat bercucuran, dan perasaan takut salah. Dari situ saya selalu ingat momen-momen tersebut yang sering kali peristiwa tersebut jadi cerita-cerita lucu antarteman di setiap kali berjumpa.
Dari ilustrasi tersebut, secara sekilas menjelaskan bagaimana cara kerja pikiran anak merekam sebuah informasi. Pikiran anak mampu ”merekam” dan ”mengunci” informasi yang masuk secara ekstrem, yaitu yang terlebih dahulu mengalami lonjakan emosi atau terkejut. Hasil ”rekaman” momen dan ”kuncian” perasaan yang terjadi itu, akan kembali ”diputarulang” ketika ada kejadian atau hal-hal serupa kembali terjadi.
Secara sederhana, kita dapat simpulkan bahwa ketika anak sangat emosional atau sangat terkejut, maka apapun yang dilihat, didengar, dan dirasakan, akan mengalir seperti air bah, masuk ke pikiran bawah sadarnya. Secara refleks pikiran bawah sadar akan mengeluarkan jejak rekaman peristiwa dan perasaan tersebut kembali ketika anak berada pada situasi atau peristiwa serupa. Inilah konsep terjadinya trauma.
Lantas apakah trauma ini bisa disembuhkan? Glophobia merupakan sebuah trauma yang sifatnya wajar dan natural, sehingga bisa disembuhkan. Caranya dengan tidak menakut-nakuti anak, tidak mengancam dengan hal yang diatakuti, tetap dengan pendekatan seorang anak, yakni bermain. Tujuannya adalah agar anak tumbuh menjadi pribadi yang merasa aman terhadap lingkungannya dan lebih tangguh menghadapi ancaman yang datang dari lingkungannya.
Berikut cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi glophobia dengan pendekatan bermain.
Pertama, memainkan balon yang masih kempes
Ajak anak bermain dengan balon kempes. Berilah dia kesempatan untuk sekadar memegang balon kempes serta berilah pengertian dalam pikiran bawah sadar bahwa balon bukanlah benda yang berbahaya dan bisa menciderainya selagi itu bukan balon gas. Selanjutnya berdayakan akal anak untuk menyaksikan kenyataan bahwa tidak semua balon akan meletus.
Kedua, isi balon dengan sedikit udara di depan anak
Kemudian ajak anak berdiskusi untuk membuat percobaan bersama-sama. Lepaskan balon (berisi sedikit udara) tersebut, biarkan balon terlempar sedikit. Selanjutnya bersama-sama melakukan percobaan balon (yang berisi sedikit udara) itu ditusuk dengan jarum. Balon akan meletus dengan suara kecil. Lakukan ini berulang-ulang hingga anak berani mencoba meniup dan menusuk balon tersebut dengan jarum.
Ketiga, Tingkatkan intensitas dan volume udara
Setelah anak mulai terbiasa, tambahkan kembali intensitasnya, dengan udara lebih banyak. Lakukan berulang hingga anak dapat meniup balon dengan ukuran besar. Selanjutnya, cobalah untuk menusuknya kembali dengan jarum bersama-sama dan beritahu anak agar menutup telinga untuk meredam suara balon yang meletus. Anak menjadi tahu saat ada peristiwa yang sama ia akan mengetahui apa yang akan dilakukan.
Keempat, beri apresiasi
Saat anak berhasil mencoba, ceritakan dari buku yang mengandung gambar balon, ceritakan betapa senangnya saat mendapatkan sebuah balon. Sehingga dengan apresiasi ini, anak akan merasa senang karena berhasil melampaui ketakutannya juga merasa bangga.
Kelima, bersabarlah saat bermain
Jika terburu-buru, hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Trauma terhadap balon tersebut akan dirasakan kembali dan ketakutannya akan muncul. Jika ini terjadi, maka prosesnya harus dimulai dari awal dan mungkin akan sedikit lebih sulit untuk membujuk anak untuk mau melakukannya kembali. Sebab memori anak mengulang kembali atau ingat kecelakaan kecil yang dilaluinya.
Dari sini kita menjadi tahu bahwa cara terbaik melawan takut atau menumbuhkan keberanian dalam diri seorang anak dengan memberikan tantangan. Jika anak berhasil melampaui tantangan maka dia akan mendapatkan kebanggaan (rasa puas) tersendiri dan jika tidak berhasil maka tugas orangtua selanjutnya adalah bersama-sama kembali untuk mencobanya hingga bisa.
Dari keberhasilannya melampaui rasa takut inilah, anak juga akan terbiasa untuk berhasil melampaui berbagi persoalan hidup di masa mendatangnya. (Mukhamad Hamid Samiaji – Pecinta Buku dan Tutor Bimbel Wadas Kelir Purwokerto)