(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Menghidupkan Kembali Dokter Kecil

Admin disdikpora | 31 Januari 2019 | 835 kali

Lebih dari 50 persen anak sekolah dasar (SD) baik di kota maupun di desa mengalami gangguan pendengaran, karena tersumbat kotoran telinga (serumen). Akibatnya, anak-anak kurang bisa mendengar kata-kata gurunya, sehingga nilai rapotnya rendah dan dianggap bodoh. Demikian hasil temuan yang pernah dikemukakan dr. Nies Endang Mangunkusumo Sp.THT dan dr. Yvonne Siboe pada 2014.

Hal yang sama, dikemukakan Dr. Damayanti Sutjipto, ketua Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT).  Selama pemeriksaan telinga anak-anak SD di Jakarta, didapati sekitar 50 persen lebih murid memiliki kotoran telinga yang menyumbat.

Ketiga dokter tersebut tergabung dalam Alumni Tujuh Satu (Altus) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Altus sudah sering melakukan kegiatan Bersih-Bersih Telinga (BBT) di sekolah-sekolah dasar negeri di Jakarta maupun di daerah-daerah, antara lain Kota Ruteng, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Setelah kotoran telinganya dikeluarkan, anak-anak tersebut bisa menangkap pelajaran dengan baik dan nilai serta prestasinya meningkat drastis.

Serumen atau kotoran telinga ini memang terjadi secara alamiah. Artinya secara siklis akan terus ada. Jika hal ini dibiarkan, akan berakibat kepada penurunan prestasi siswa dan sekolah dalam jangka panjang. Oleh karena itu harus ada pemeriksaan dan BBT secara periodik, minimal enam bulan sekali. Pemeriksaan ini bisa dengan melibatkan siswa, guru dan tenaga kesehatan setempat (puskesmas/bidan desa).

Ada tiga tahapan yang bisa ditempuh. Pertama, memfungsikan kembali Unit Kesehatan Sekolah sebagai tempat untuk memeriksa serumen. Pemeriksaan bisa dilakukan siswa yang sebelumnya telah mendapatkan pelatihan melalui program dokter kecil. Program ini pada tahun 1980-an begitu marak. Para perwakilan SD sekecamatan dikumpulkan dan mendapatkan pelatihan dasar tentang kesehatan. Seyogianya program tersebut diadakan lagi. Dokter kecil menjadi cara yang efektif untuk memberikan kesadaran dan pengetahuan (literasi) kesehatan kepada anak-anak sekolah. Asyiknya, proses penyadaran itu dilakukan anak-anak sendiri.

Tahap kedua, pemeriksaan dan pembersihan, Jika hasil pemeriksaan oleh siswa, ternyata serumen hanya ada di bagian luar lubang telinga, telinga bisa dibersihkan langsung. Jika jumlah serumennya banyak dan berada di bagian dalam lubang telinga, maka cukup dengan menuliskan hasil pemeriksaan tersebut. Tindakan BBT dapat dilakukan dengan mengundang dokter puskesmas atau paramedis yang memiliki kemampuan melakukan BBT.

Tahap ketiga, untuk menciptakan sistem penanganan BBT, sekolah bekerjasama dengan para orang tua murid serta paramedis dapat mengadakan penyuluhan kesehatan hidung, telinga dan tenggorok, serta pelatihan untuk menjaga kebersihan hidung dan telinga.

Sehingga jika ada anak yang mengalami gangguan pendengaran, hal itu bisa diketahui sejak dini. Pelatihan disertai pula dengan pemberian ear kit, yaitu peralatan untuk memeriksa dan membersihkan telinga serta praktik membersihkan telinga untuk serumen-serumen dalam kategori ringan (di luar lubang telinga) dan sedang (sudah menutupi lubang telinga, tapi masih nampak jelas dari luar dan bisa diambil dengan mata kasat).

Pencapaian prestasi akademik siswa sangat terkait pula dengan kesehatan pendengaran. Oleh karena itu, seyogianya persoalan kesehatan telinga ini juga menjadi bagian dari kesadaran dan tanggung jawab bersama antara guru, orang tua siswa dan paramedis setempat. Mari kita bangkitkan kesadaran untuk menciptakan sistem BBT secara swakelola, tidak tergantung pada program-program bakti sosial yang bersifat insidental. (Agus M. Irkham, pegiat literasi)