(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Meningkatkan Antusiasme Belajar Melalui Keteladanan

Admin disdikpora | 04 September 2017 | 784 kali

Pertandingan futsal digelar di sekolah tempat saya mengajar beberapa tahun lalu. Pesertanya cukup banyak, 26 tim. Tim-tim itu dibagi menjadi 3 kategori sesuai usia peserta—tingkat TK satu kategori, tingkat SD dua kategori. Walaupun tak suka sepakbola atau futsal, saya menikmati pertandingan demi pertandingan yang berlangsung.

Hal yang paling mengesankan saya di pertandingan itu adalah kemenangan yang diraih oleh sebuah tim SD di salah satu kategori. Mereka tim yang amat tangguh. Sebabnya, mereka tak punya lapangan sendiri, namun bisa meraih juara 1! Padahal lawan-lawan mereka cukup berat, beberapa di antaranya mempunyai fasilitas lengkap olahraga di sekolah masing-masing.

Ketika mereka mengangkat piala, sorak-sorai membahana! Walaupun bukan anak murid saya, saya pun turut menyoraki mereka. Bangga rasanya melihat anak-anak yang sederhana ini meraih kemenangan yang gemilang. Pelatih mereka bercerita bahwa untuk latihan, kadang mereka harus berpatungan uang menyewa lapangan. Yang terus-menerus dipompa adalah semangat anak-anak itu. Begitulah, semangat itulah—bukan fasilitas—yang menjadi kunci utama kemenangan mereka.

Antusiasme anak-anak yang memenangkan pertandingan itu tak mungkin muncul kalau mereka tidak menyaksikan suatu teladan. Dalam hal ini, yang menjadi modelnya adalah sang pelatih. Pelatih yang selalu mendampingi, juga meyakini bahwa mereka bisa menjadi pemenang, menjadi ilham terbesar bagi anak-anak itu. Semangat hidup pun menular, keyakinan untuk menjadi juara melahirkan niat dan upaya memberikan yang terbaik. 

Anak-anak lebih mudah dimotivasi memberikan yang terbaik dalam berbagai hal, tidak seperti orang dewasa yang cenderung mempertimbangkan keuntungan-keuntungan tertentu. Orang dewasa lebih sering akan berpikir ulang bila upaya ekstranya dalam mengerjakan suatu hal tidak mendapat imbalan lebih.

Antusiasme anak-anak itu mengingatkan saya pada kebenaran pepatah lama: “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Bila mereka merasakan antusiasme dalam sebuah kegiatan pembelajaran—yang bagi mereka menarik, menyenangkan, atau menantang—anak-anak akan bersemangat melakukan sesuatu yang melampaui target yang dikehendaki gurunya.

Psikolog Jerman William Stern dalam Soetopo (1982) menyatakan bahwa perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh hereditas (penurunan sifat genetik dari orang tua) dan lingkungan di mana ia berada. Kalau kita melihat di sekeliling kita ada anak-anak yang kurang antusias belajar, enggan ke sekolah, yang perlu dicek adalah lingkungan di mana ia berada, baik sekolah maupun keluarganya.

Di sekolah, apakah anak-anak bertemu dengan guru yang inspiratif, seperti pelatih futsal yang saya ceritakan di muka? Di beberapa sekolah, saya masih mendengar, guru banyak yang suka—dan tampaknya enggan meninggalkan kebiasaan—berceramah berlama-lama. Siswa kemudian mengantuk dan bosan di kelas, tapi mereka dimarahi, jika mereka tidak memerhatikan gurunya.

Begitu pun di rumah. Apakah orang tua lebih sibuk dengan berbagai tuntutan pekerjaan, dan karenanya kemudian mengesampingkan kebersamaan dengan keluarga dan anak?

Saya pernah membaca tentang seorang anak yang mendapat kado istimewa dari ayahnya suatu malam. Kado itu berupa kertas kecil, bertuliskan janji sang ayah kepadanya, akan memberikan waktu sehari sejam, hingga ulang tahunnya kemudian. Ya, 365 jam kebersamaan.

Sang ayah memang sangat sibuk, kebersamaan mereka satu jam sehari adalah pemberian terbaiknya bagi si anak. Jam demi jam yang mereka lewati bersama di kemudian hari menyadarkan anak itu akan pentingnya kebersamaan dan berkomunikasi. Saat anak itu dewasa dan menjadi pengacara yang hebat, ia menyatakan bahwa 365 jam dalam setahun yang diberikan oleh ayahnya adalah pemberian yang paling berarti untuk dirinya.

Anak-anak lebih menyukai kata-kata “Mari kita menggambar bunga!” daripada “Gambarlah sebuah bunga!” Keteladanan yang dilandasi kasih sayang pun pada akhirnya menjadi bekal penting bagi seorang anak untuk menapaki kehidupan, mengenali bakat yang ada pada dirinya, bahkan mengenal dunia. Kritikus seni Inggris John Ruskin berkata: “Berikanlah kasih kepada seorang anak, dan engkau akan memperoleh kasih itu kembali.” (S. Nugroho, guru dan penulis lepas)