Dalam film Parenthood (2 Agustus 1989) yang ditayangkan di stasiun Televisi NBC di Amerika pada tahun 2010, salah seorang aktor Keanu Reeves berkomentar, ”You need a license to buy a dog. You need a license to drive a car. Hell, you even need a license to catch a fish. But they’ll let any butt-reaming asshole to be a father.” Film yang disutradarai Ron Howard tersebut secara gamblang menunjukkan bahwa terbentuknya sebuah keluarga semestinya berawal dari aneka pertimbangan sambil memikirkan efek dan konsekuensi seperti apa yang akan dihadapi. Tuntutan seperti itu hendaknya melekat dalam pikiran setiap orang sebelum memutuskan untuk membangun sebuah keluarga. Gejala seperti perceraian, single parent, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pernikahan dini, seks di luar nikah, dan berbagai bentuk kesenjangan sosial lainnya menjadi bukti yang cukup valid untuk menunjukkan bahwa minimnya persiapan dan absennya kesadaran moral dapat memengaruhi keberlangsungan hidup sebuah keluarga dan pada akhirnya berdampak pada ambruknya kehidupan suatu bangsa..
Landasan Hidup Berkeluarga
Menjadi orangtua bukan sekadar karena memiliki anak. Atau, setelah melahirkan anak, seorang perempuan tidak otomatis menjadi ibu. Sebelum membangun sebuah keluarga, orang perlu mengetahui secara komprehensif peranan keluarga teristimewa demi pendidikan anak, antara lain:.
Pertama, ekonomis
Keluarga menjamin kepentingan ekonomis anggotanya terutama dalam kaitan dengan pemenuhan kebutuhan fisik seperti kelayakan hidup, menjamin masa depan, dan melalui pendidikan yang layak diharapkan kelak bisa meminimalisir adanya kesenjangan ekonomi sosial..
Kedua, perlindungan
keseharian dan alasan biologis Di samping melahirkan anak dan meneruskan keturunan (reproduksi), keluarga juga perlu menjamin kelangsungan hidup para anggotanya dan menjadi sumber agar para anggotanya merasa aman, damai, dan dicintai..
Ketiga, sosialisasi
Nancy Hill, profesor lulusan Sekolah Pendidikan di Universitas Harvard menemukan bahwa orangtua berperan penting dalam apa yang ia sebut sebagai ”sosialisasi akademik” —membuat prediksi dan menciptakan hubungan antara tindakan yang diambil saat ini dan tujuan yang ingin dicapai pada masa depan (masuk universitas, dapat pekerjaan baik, dan hidup layak) (Majalah Time edisi 24 Oktober 2012). Melalui sosialisasi akademik, anak diajarkan untuk mengenal dan mengerti nilai-nilai dasariah, seperti keadilan, perdamaian, kerja sama, memaafkan, dan keutamaan lain. Atas cara tertentu, sosialisasi berujuan menemukan ketahanan diri ketika mereka berada di luar keluarga dan dari luar kembali menawarkan nilai-nilai baru yang menjadi bahan pertimbangan..
Keempat, indentitas
Kekhasan seseorang tampak dalam identitas yang melekat dalam dirinya. Melalui bukunya, Educating Children at Home, Alan Thomas menekankan pentingnya mengenal dan memahami perbedaan identitas seseorang dalam proses pendidikan. Mengutip Quintilian, filsuf dan pendidik anak-anak Kaisar Romawi (Nero, Seneca), Thomas menulis, The skilled teacher, when a pupil is entrusted to his care, will first of all seek to discover his ability and natural disposition (and will) next observe how to the mind of his pupil is to be handled....for in this respect there is an unbelievable variety and types of mind are no less numerous than types of body (Continuum, MPG Books Ltd: London, 2006, hlm. 10). Keanekaragaman identitas dalam diri anak-anak hendaknya disikapi secara bijak oleh orangtua. Contohnya, orangtua perlu mengenal keunggulan dan kelemahan anak sulung atau anak bungsu dan memberikan perhatian sesuai dengan porsi yang mereka butuhkan. Sulit dipercaya, tetapi anak-anak dari segala usia pada abad ke-21 ini masih membutuhkan bimbingan. Berilah nasihat bukan sebagai guru dan minta pendapat ketika mereka mengalami hal sulit (berkelahi, misalnya) dan bagaimana jika terjadi lagi. Nasihat yang luar biasa adalah mengakui keterbatasanmu sebagai orangtua, dalam membantu anak untuk membuat keputusan tanpa dirimu (aktualisasi diri.
Kelima, afeksi
Adam Phillips, penulis dan peletak dasar psikoterapi anak di Charing Cross Hospital di London sebagaimana yang dikutip dalam Time mengatakan, ”Anak-anak tak dapat dibedakan dalam banyak cara dari orang-orang yang kurang pertimbangan. Mereka tidak berbicara dalam bahasa kita. Mereka tidak punya daya kontrol. Mereka tidak dapat menahan diri. Mereka hanya tahu kebutuhan dan hasratnya sendiri. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika kadang mereka menjadi kejam karena dorongan dari dalam dirinya sendiri.” Dalam rangka mendidik seorang anak, apa yang paling mereka butuhkan sangatlah sederhana: berbicara. Ciptakan permainan yang berdaya imajinatif dan edukatif. Buatlah penekanan lebih terutama pada membangun kemampuan berbicara anak. Bantulah anak menceritakan pengalaman (di sekolah, siapa saja, kapan terjadinya, bagaimana awal dan akhir) dan dengarlah dengan penuh perhatian sebab love is focused interest. Dan anak-anak akan bercerita kalau kita tertarik untuk mendengarkannya. Persoalan atau hal penting dalam dunia anak-anak adalah bagaimana mereka bisa menceritakan diri mereka. Oleh sebab itu, mulailah dengan menceritakan dirimu dan anak akan melakukan interupsi. Di samping itu juga, ajarlah anak untuk mengatasi dan mengatur perasaan atau emosi yang buruk dan merusak dengan meminta bantuan pada orang dewasa yang bisa dipercaya. John Dewey, ahli psikologi modern mengatakan, without insight into the psychological structure and activities of the individual, the educative process will therefore be haphazard and arbitrary (Alan Thomas, Continuum, MPG Books Ltd: London, 2006, halaman 11). Umumnya, orangtua lebih menekankan prestasi anak daripada kualitas kepedulian sosial. Secara kodrati, anak lebih peduli dengan keluarga dan teman-temannya tetapi orangtua perlu memperluas wawasan mereka untuk peduli dengan hal yang lebih besar daripada sekadar keluarga dalam lingkup kecil sebuah relasi. Ajari mereka untuk peduli dengan orang-orang yang dilukai, termarjinalisasi, karena itulah dasar dari keadilan. Satu hal besar yang menjadi awasan moral anak-anak adalah mereka ingin menjadi seperti orangtua. Oleh sebab itu, orangtua perlu menghidupi nilai-nilai ini sebelum itu diajarkan kepada anak. Orangtua juga perlu belajar dari anak-anak. Kadang-kadang anak bertumbuh dengan pemahaman moral yang lebih matang daripada yang dibuat oleh orangtua.
Keenam, edukasi
Annie Murphy Paul, penulis Origins dan Briliant: The New Science of Smart dalam majalah Time edisi 24 Oktober 2012 menulis sebuah opini bertajuk Why Parenting is More Important than Schools yang mendeskripsikan hasil penelitian di North Carolina State University, Brigham Young University dan University of California-Irvibe. Dijelaskan bahwa keterlibatan peran orangtua —mengecek tugas rumah, menghadiri berbagai pertemuan dan event sekolah, mendiskusikan aktivitas sekolah di rumah— lebih berpengaruh besar bagi prestasi akademik siswa ketimbang pendidikan yang diterima oleh siswa di sekolah. Lebih lanjut, Paul mengutip studi lain yang dipublikasikan di Review of Economic and Statistics, menunjukkan bahwa upaya orangtua menguraikan secara terus menerus (membaca cerita dengan suara lantang, atau bertemu dengan para guru) memiliki pengaruh lebih besar bagi prestasi pendidikan siswa daripada upaya yang dibuat oleh para guru atau siswa itu sendiri. (Hans Hayon – Mahasiswa Fisipol UGM, berasal dari Flores Timur, NTT).
Sumber: https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=249900510