(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Ni Wayan Luh Mahendra (3-Habis) – Membangun Semangat Dinda

Admin disdikpora | 06 Maret 2018 | 1337 kali

 Kondisi kaki Laura Aurelia Dinda atau akrab disapa Dinda yang lemah, mati rasa dan sering merasakan nyeri pada bagian tepi motorik bawahnya membuat ativitas Dinda sangat terhambat. Hari-hari harus dibantu kursi roda. Kakinya sama sekali tak mampu menopang tubuhnya dengan baik.

Dinda pun berada di titik putus asa. Perasaannya hancur dan takut. Dia merasa tak lagi menjadi orang berguna. Karena seluruh aktivitas, termasuk buang air besar, harus dibantu ibunya.

Bahkan Dinda merasa hidupnya sia-sia. Dalam keputusasaan, dia membanting gelas kaca ke lantai. Tapi karena keterbatasan kemampuan gerak, dia tidak bisa meraih pecahan gelasnya di lantai.

Hati orang tua mana yang tak sedih melihat anaknya putus asa. Tapi Wayan tak ingin menunjukkan kesedihan itu di depan Dinda. Dia berusaha tetap ’santai’ sambil memotivasi.

”Saya sampaikan padanya, yang paling utama dari peristiwa ini adalah mensyukuri nafas itu sendiri. Dedek cacat kakinya tapi masih punya segala hal yang orang lain tidak punya. Otak yang pintar, teman yang banyak dan peduli, mama yang mau melakukan apapun untuk Dedek, papa yang kerjanya bagus sehingga sakit pun dapat fasilitas dan perawatan serta obat berkualitas premium,” beber Wayan.

Wayan juga menyampaikan bahwa banyak orang cacat yang jauh lebih menderita. ”Mereka tidak punya apapun, sementara Dedek masih punya. Saya tunjukkan video remaja stroke yang hanya bisa merem melek. Pita suaranya tidak bisa bicara, refleks menelan juga kena sehingga harus pakai sonde saat makan dan minum, tangannya juga lumpuh tidak menulis,” tambahnya.

Dalam video itu juga ditunjukkan seseorang yang ingin fisioterapi meski harus merasakan sakit hebat hingga menangis. ”Dengan suara terbata-bata, dia bilang harus tabah supaya cepat pulih,” kenang Wayan.

Wayan menyemangati Dinda untuk selalu berpikiran positif. ”Kalau berpikiran negatif artinya Dedek menghambat proses recovery Dedek sendiri. Ayo mending makan yang banyak. Mau kondisi apapun, mama tetap sayang sama Dedek,” Wayan menceritakan momen obrolan kala itu.

Setelah peristiwa itu, Wayan menyingkirkan benda-benda yang berpotensi untuk dijadikan media bunuh diri. Namun, berkali-kali Dinda menyampaikan ingin mengakhiri hidupnya karena sudah banyak merepotkan orang tuanya.

Terutama ketika merasa tidak nyaman, seperti saat di kamar mandi. ”Biasanya saat mau buang air besar. Dia bilang, hal privat begini saja harus dibantu, udah mending aku mati saja daripada ngerepotin orang lain. Apa-apa sudah tidak bisa mandiri lagi, percuma hidup,” ujar Wayan menirukan ucapan anaknya.

Wayan kemudian meminta bantuan teman-teman Dinda untuk membantu memulihkan kondisi psikisnya. Dia menceritakan peristiwa yang dialami Dinda pada teman-temannya dan kepala sekolahnya.

Itu menjadi masa terberat bagi Wayan. Tapi dia tak pernah menunjukkan kesedihannya di depan Dinda. Air matanya akan tumpah saat putrinya terlelap tidur. Tapi, saat Dinda bangun, Wayan menjadi ibu yang sangat kuat, tegar dan siap membantu.

Wayan juga kerap mendampingi Dinda menjalani masa pengobatan. Sedikitnya 15 kali putrinya harus bolak balik masuk rumah sakit. Dia bahkan terbang ke Bali, kampung halaman ibunya, untuk mendapatkan terapi penyembuhan.

Sebulan terapi di Bali, Dinda mulai bisa berdiri dan jalan. Namun tak sempurna dan tidak bisa berdiri dalam waktu yang lama.

Selain penyembuhan fisik, Wayan memprioritaskan penyembuhan mental anaknya. Menurutnya, yang paling berperan besar dengan perkembangan mental Dinda berasal dari teman-temannya.

Mulai Bangkit

Meski sakit, Dinda tak ketinggalan pelajaran sekolah. Wayan rutin ke sekolah untuk mengambil tugas untuk putrinya. Dia juga selalu mendampingi Dinda belajar.

Di tengah proses pemulihan itu, tiba-tiba Dinda didatangi seorang pelatih difabel di Solo bernama Gatot. Pelatih tersebut mengetahui cerita Dinda dari toko baju renang yang pemiliknya adalah teman Wayan.

Gatot tak sekadar datang tetapi juga memotivasi Dinda. Dia mengatakan bahwa tubuh yang tidak sempurna bukan berarti hidup berakhir.

”Saya lihat Dinda mendengarkan dengan baik. Tapi setelah orang itu pulang, dia marah sekali. Dinda tersinggung disamakan dengan difabel. Dia merasa saat itu kondisinya masih tahap recovery bukan sepenuhnya cacat,” jelas Wayan.

Setelah kunjungan pertama, pelatih kembali datang ke rumah. Namun sebelum bertemu Dinda, Wayan memberi pesan kepada Gatot. ”Saya cerita, Dinda nggak mau dianggap sebagai orang cacat,” kenangnya.

Ternyata kedatangan Gatot berbuah positif. Dinda ingin latihan renang lagi. Meski alasannya karena jenuh dengan hari-hari tanpa aktivitas. ”Dokternya juga menyarankan untuk berenang karena jadi salah satu terapi saraf,” kata Wayan.

Pertama kali lagi turun ke kolam, Dinda menjaga jarak dengan difabel lainnya. Tapi lama kelamaan mulai mencair dan merasa nyaman untuk berlatih.

Dinda juga mulai turun lomba lagi. Tak tanggung-tanggung, dia langsung ikut berlomba tingkat nasional, yakni Pekan Paralimpiade Nasional atau Pekan Paralimpik Indonesia (Peparnas), ajang kompetisi menyerupai Pekan Olahraga Nasional (PON) bagi atlet penyandang disabilitas Indonesia, tahun 2016 di Jawa Barat. 

Dinda langsung menyabet 2 medali emas dan 1 perak.  Prestasi membanggakan itu lantas membangkitkan semangatnya untuk terus berlatih. Dia kemudian terpilih mewakili Indonesia dalam ajang ASEAN Para Games di Bukit Jalil, Malaysia, pada 17-23 September 2017 lalu.

Setelah mencetak rekor baru di ajang tersebut, Dinda mulai memasang target besar. Dia tengah bersiap untuk ASIAN Para Games 2018 mendatang serta mengikuti Paralimpiade 2020 di Tokyo.

Dinda serius berlatih renang disela-sela aktivitasnya kuliah semester satu jurusan Psikologi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Wayan setiap hari mendampingi kuliah untuk menjaga anaknya agar tidak terjatuh. Mereka terpaksa berjauhan dengan ayah Dinda, David Haliyanto karena harus tugas di beda kota.

Wayan mengaku, saat ini dirinya lebih banyak bersyukur dengan perkembangan Dinda yang semakin positif. Ketabahannya menghadapi peristiwa besar dalam hidupnya itu berbuah manis.

”Kejadian yang menimpa Dinda sempat membuat saya menjadi seorang ’pemberontak’. Kenapa harus terjadi pada anak saya, yang tidak nakal, pintar, berprestasi di sekolah maupun renang? Kenapa kehidupannya harus hancur?” ujar Wayan mengenang. ”Tapi ternyata kepingan kehidupan yang hancur itu Tuhan rencanakan untuk dipulihkan sebagai mozaik yang jauh lebih indah dari asalnya. Saya bersyukur dikelilingi malaikat baik,” tambahnya.

Peristiwa itu juga dibagikan Wayan dalam setiap kesempatan. Wanita kelahiran Surakarta itu juga sering diundang sebagai pembicara untuk menyebarkan inspirasi dan memberikan motivasi kehidupan. Di sebelahnya, ada Dinda yang siap menatap masa depan di tengah keterbatasannya. (Habis - Bunga Kusuma)